Oleh: Mukhlis, S.Pd., M.Pd
Saat pulang kerja tadi sore, penulis singgah di sebuah warung kopi. Sudah menjadi kebiasaan penulis tidak langsung pulang ke rumah. Hal ini penulis lakukan hampir saban hari kerja. Rehat sebentar sambil menyeruput kopi espresso yang begitu nikmat.Â
Sambil menunggu matahari mundur di atas kepala bergeser sekitar 30 derajat. Penulis mengisi kekosongan itu dengan menulis puisi , esai, cerpen dan membalas semua komentar terhadap postingan hari ini baik di Facebook, Instagram maupun group WA.
Tak lama setelah jeda dari membanting setir, penulis memasuki warung kopi langganan. Suasana begitu panas, kipas angin yang terpasak di dinding tampak lelah dan kuyu bertarung dengan sisa uap matahari yang melapisi isi warung kopi dengan desain klasik tersebut.
Warung itu penuh sesak dari berbagai kalangan. Apalagi beriringan dengan waktu pulang kerja para pegawai pemerintah. Mereka kelihatan sibuk melaporkan kegiatan masing masing pada temannya.Â
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang di negeri berkembang, jika bertemu selau melaporkan kegiatan pada temannya. Masalah yang dibicarakan pun beragam mulai dari masalah rumah tangga sampai ke hal yang berbau politik.
Sore ini orang orang yang singgah begitu banyak. Entah angin mana yang telah mengantarkan mereka ke tempat ini. Jangankan untuk istirahat, akan tetapi bernapaspun terasa sulit. Proses pertukaran napaspun berlangsung begitu alot dalam ruang ruang pengap.
Setelah penulis memesan kopi ekspresso yang merupakan minuman favorit penulis diantar  pelayan.. Dengan gesitnya jemari ini menari mengayuh sendok dalam kolam  transparan berisi racikan hitam.Â
Tas laptop yang bersandar mesra di atas kursi kosong menanti dibuka kemasannya. Lalu tangan penulis mencoba membuka jendela tas warna gelap mengeluarkan laptop.
Seruputan pertama kopi esspresso, Â penulis serasa melayang di angkasa. Urat -urat halus di bawah tengkuk menjalar begitu cepat merespon semua ide yang berlomba ingin menukik di layar monitor. Â
Dalam sekejap  seorang kakek sepertiga abad muncul secara mendadak di depan penulis. Penampilannya begitu necis. Baju kemeja lengan panjang motif garis- garis tampak syahdu membungkus tulang yang mulai rapuh. Â