Peci hitam warna gelap kecoklatan dipakai agak miring ke belakang, jidatnya berkerut tampak lelah berjuang dengan usia  Sang kakek tiba -tiba melihat ke arah penulis yang sedang menikmati sebatang rokok filter sebagai perpaduan dua rasa dengan hangatnya kopi.
" Boleh Saya minta rokok sebatang?" Mendengar pertanyaan tersebut penulis kaget . Sambil melamun " ,"Kakek ini... Kok tidak ada basa- basi langsung main minta terus." Kalau dalam sebuah makalah tidak ada pendahuluan langsung ke pembahasan.
" Tidak ada kek, sudah habis!' kebetulan ini rokok terakhir saya hari ini dari pagi. Â Mendengar jawaban penulis ia pun bangkit dari tempat duduknya menuju kios kecil tempat penjualan rokok.Â
Penulis tidak memperdulikannya, karena ia tidak punya etika dalam meminta. Penulis mengurut dada menahan sesak, tidak sepatutnya penulis seperti itu, apalagi orang ini sudah kakek- kakek.
Lamunan penulis begitu panjang diaduk dengan rasa gusar dan kesal. Lalu kakek itu muncul lagi dan duduk di hadapan penulis, rupanya sisa kopi memanggilnya untuk dipadu dengan sigaret. Â
Penulis menatap awas kakek itu. Di jari yang penuh kerutan mengapit sebatang rokok merek terkenal. Â Pipi pesongnya terlihat keluar masuk membentuk lesung batu tumbukan.
Waktu terus berputar, senja sudah mengudang malam kakek itupun berlalu. Penulis memanggil pelayan untuk membayar menu minuman yang sudah disantap. Ketika dijumlahkan berbeda dengan harga biasa. Penulis bertanya" Kenapa hari ini berbeda?" Itu sudah termasuk kopi kakek itu bang! Penulis tambah geram dan bertanya" emang kakek itu siapa? Â Sang pelayan pun keheranan sambil menggerutu" ohh... biarkan tidak apa jangan dibayarkan!" Kakek itu memang sudah terbiasa seperti itu
Lalu penulis pun keluar dari warung tersebut. Di teras warung penulis bertemu lagi dengan kakek tadi. Tanpa basa basi ia menatap penulis.Rasa penasaran semakin menggumpal.Â
Penulis memperhatikan kakek itu dengan penuh selidik. Di depan warung tampak dua orang yang berpakaian rapi dan mewah. Kelihatan sekilas mereka adalah pengusaha. Sambil membungkuk kakek tua tadi meminta sumbangan sealakadarnya.
Lelaki muda dan tegap itu merongoh kantongnya. Uang kertas sepuluh ribuan disodorkan pada kakek. Setelah uang sampai di genggaman, mulut sang kakek komat -kamit membaca mantra keselamatan. Â Setelah itu dengan gagahnya ia menuju motor merek terbaru yang terparkir rapi di halaman warung kopi. Kaki -kaki penopang jasad tampak gemetaran.Â
Dihidupkannya starter motor yang berwarna ngejreng, ia pun pergi meninggalkan penulis penuh tanya.