Konsep ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan Jos Daniel Parera (1992) ," Bacalah apa saja yang ada di hadapanmu, karena apa yang kamu baca hari ini akan bersarang di alam bawah sadar. Suatu saat konsep konsep itu minta keluar dalam bentuk tulisan. Mari tinggalkan pakar pakar di atas dengan konsep emasnya. Sebanyak apapun konsep menulis dan membaca bersarang dalam benak tidak akan berarti, jika para pembaca dan penggerak literasi tidak pernah mewujudkan dalam action nyata dan dapat dijadikan suri tauladan bagi generasi milenial saat ini. Â
Masalah diputar ke titik pangkal dengan pertanyaan pemandu, " Mengapa generasi milenial kurang tertarik terhadap literasi? Derasnya informasi telah menciptakan mereka sebagai generasi konsumtif informasi. Semua peristiwa yang terjadi di jagad ini berlangsung bagai bandang dari gunung menerjang kanal- kanal yang membentengi mereka dari hal hal negatif. Kemudian mengapa mereka tidak produktif dalam menulis kembali racikan pengetahuan dalam bentuk tulisan. Lagi -lagi guru yang menjadi kambing hitam, itu kata segelintir orang yang tidak paham dengan sistem pendidikan saat ini.
Apakah betul guru dapat dijadikan kambing hitam dalam kasus- kasus mandeknya literasi secara umum? Penulis punya cerita menarik untuk dijadikan instrumen oleh pemerintah dan guru sendiri sebagai bagian dari pendidikan. Suatu hari dalam sebuah seminar tentang Karya Ilmiah Guru untuk kenaikan pangkat. Sang penyaji dalam hal ini Profesor Arikunto Suharsimi yang dikenal sebagai ahli penelitian bidang pendidikan dan sosial mengajukan sebuah pertanyaan. "Apakah Bapak/ Ibu guru?" Dengan kompak seperti koor mereka menjawab ya! Lalu sang profesor pendidikan yang bukunya sudah merajai tanah air menyungsangkan pertanyaan, "Sudah gurukah Bapak / Ibu?" Tak satupun guru menjawab, semua bisu, kerongkongan kering, dan suasana hening. Sekilas terlihat semua guru saling menatap dalam keragu- raguan.
Merujuk pada deskripsi kasus di atas, berarti ada yang salah dengan guru. Cuma identifikasi kesalahan itu masih mengambang apakah pada guru itu sendiri ataukah pada siklus dan birokrasi pendidikan ? Dari bisik- bisik para pemeriksa karya tulis ilmiah guru. Cukup banyak karya ilmiah guru yang tidak ilmiah. Masalahnya Pun beragam mulai dari tindakan copy paste, hingga pada teknik penulisan yang amburadul.
Pembiasaan dan pembinaan menulis di kalangan guru perlu dibudayakan. Pembiasaan dan pembinaan dapat dilakukan melalui organisasi yang berkiprah di bidang penulisan. Dalam hal ini Ikatan Guru Indonesia (IGI) merupakan wadah yang tepat sebagai alternatif dalam mencetak jiwa -jiwa penulis yang berkualitas. Dahulu, seseorang yang menulis buku atau apa saja yang berhubungan dengan tulisan dipandang sebagai superior. Hal ini dipengaruhi oleh pelik-pelik dalam menulis. Keterbatasan pengetahuan menulis membuat hal ini semakin jarang diminati.
Hemat penulis, hampir semua guru Indonesia punya konsep tentang disiplin ilmu yang dimiliki secara profesional. Keterbatasan pengetahuan, minimnya wadah yang mengampu dunia kepenulisan membuat mereka tidak mampu menyalurkan pengetahuan dan pengalaman dalam bentuk untaian bahasa tulis. Â
Penulis adalah  Pemimpin Jurnal Aceh Edukasi, Esais dan Guru SMA Negeri 1 Lhokseumawe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H