Oleh Mukhlis,S.Pd., M.Pd.
Â
"Suatu ketika penulis menawarkan  antologi  puisi  "Lukisan Retak" kepada seorang Kepala Sekolah SMA sebagai referensi literasi di perpustakaan sekolahnya.  Kata-kata meluncur tajam menyerang saraf melumpuhkan jemari ini. " Saya kalau dikasih gratis mau!" (Sembari membetulkan barang bawaannya menuju bis keberangkatan dalam rangka Tour Wisata  ke luar negeri yang difasilitasi oleh sebuah Penerbit Nasional).Â
Mendengar ucapan itu, seketika penulis lumpuh dalam tatapan, malam beranjak menuju puncak pada terminal Bis di kota tua. Bus-bus berbadan lebar menjerit berlarian bagai laron hinggap di lampu pijar. Matahari bagai tembaga di sanubari. Merah menyala menyalurkan cahaya ke wajah penulis dalam redupnya cahaya bulan."
Penggalan cerita di atas merupakan pengalaman yang penulis terima  terhadap apresiasi terhadap karya di dunia nyata. Pengalaman seperti itu sudah menyatu dalam darah bagi penulis. Bukan sekali ini saja penulis mendapatkan apresiasi seperti itu.  Cambuk-cambuk motivasi terus  dipecut terhadap setiap karya yang dihasilkan. Mengingat dewasa ini sedang didengungkan gema dunia literasi Indonesia terutama di dunia pendidikan. Hal  ini sangat menarik untuk diulas.
 Membaca adalah jendela dunia, itulah  pepatah lama  yang tak lekang dari panas dan tak  basah karena hujan  Membaca adalah kegiatan  menyenangkan dan bermanfaat, karena dengan membaca kita mampu menyelami betapa dahsyat fenomena di berbagai belahan hanya  melalui  buku.  Budaya literasi menjadi penting bagi masyarakat luas agar terbentuk Sumber Daya Manusia  (SDM) yang sadar akan lingkungan di sekitarnya. Selain itu untuk menghadapi globalisasi,  setiap  masyarakat  diharapkan harus melek, cakap,  dan matang dalam hal literasi.
Mengulas masalah literasi, berarti mengupas tentang dunia kepenulisan. Sudah menjadi rumus umum bahwa literasi tidak dapat dipisahkan dari sang penulis apapun genre tulisan yang dihasilkan. Pertanyaan mendasar adalah bagaimanakah penghargaan yang diberikan dan diterima oleh para penulis terutama para pemula? Dalam KBBI 2002 disebutkan bahwa apresiasi adalah sebuah penghargaan terhadap sebuah barang, produk bahkan terhadap sebuah karya seni yang dihasilkan oleh penulis. Merujuk pada konsep tersebut apresiasi merupakan sebuah motivasi ekstrinsik yang dibutuhkan oleh seorang penulis. Sehebat apapun karya yang dihasilkan tanpa apresiasi maka karya tersebut akan hambar dan tidak dikenal dalam kehidupan literasi Indonesia.
Perkembangan dunia baca begitu cepat, ini dipengaruhi oleh munculnya berbagai media yang menghidangkan berbagai informasi dengan begitu instan dan mudah. Lalu bagaimanakah  apresiasi yang diberikan oleh pemangku kepentingan,  baik bidang akademik maupun para stekholder yang menjadikan buku sebagai media utama dalam pembelajaran pada semua jenjang.?
Berdasarkan pengalaman yang telah disebutkan dalam penggalan kutipan di atas, dalam dunia nyata sangat sukar  mendapatkan sebuah apresisi dari para pemangku kepentingan terhadap sebuah karya. Penulis mencoba mereka- reka semoga hal ini tidak tepat mungkin karena egoisme penulis.. he...he ...!
Penulis beranggapan bahwa faktor finansial dan emosional  telah membumi dalam dunia distributor literasi Indonesia. Faktor finasial merupakan faktor  keuntungan  dari sebuah apresiasi yang diberikan. Artinya, ( Maaf, jika  Anda mengambil buku  dari penerbit ini dengan jumlah besar, maka Anda akan mendapatkan sekian fee dan plus biaya pelesiran ke luar negeri selama satu minggu sebagai bonus akhir tahun).
 Kadang Alasan-alasan lain juga dibungkus dengan berbagai tema agar tidak begitu vulgar, misalnya study banding ke lembaga lain yang benilai pendidikan. Akan tetapi itu adalah sebuah feedback.  Intinya  adalah pelesiran dari bonus yang diberikan.  Seandainya  deskripsi kasus  dalam tulisan di atas benar adanya penulis  bepikir kiamat kecil pasti akan dialami  para penulis pemula. Umumnya mereka hanya bersandar pada bobot, bebet, dan bibit dari tulisan yang dihasilkan.
 Selanjutnya, faktor emosional. Ini adalah faktor kekerabatan ( teman, saudara,  dan keluarga). Apresiasi semacam ini sering ditemukan dalam dunia literasi kita dewasa ini. Buku-buku yang diapresiasi lewat jalur  ini biasanya lebih menyakitkan bagi penulis pemula. Dalam hal ini keseteraan menjadi tolok ukur dalam memberikan apresiasi terhadap karya. Misalnya (Siapa?, Lulusan mana? Sudah berapa buku yang ditulis? Bagaimana bobot tulisan nya? Emang Dia mampu? Atau Diakan masih di bawah Saya!) Ini  merupakan faktor utama yang membunuh motivasi dalam  berkarya. Dengan kata lain ada peribahasa dalam  Bahasa Aceh  yang eksplisit dari kasus  di  atas ( Meu Mie Agam) artinya,  memiliki sifat  seperti kucing jantan, setiap kucing jantan yang lahir selalu dimakan oleh kucing jantan dewasa.
 Melihat kasus-kasus yang  telah dipaparkan, dunia maya atau Cyber sastra lebih diminati oleh penulis pemula. Di sana setiap tulisan selalu dihargai dengan jempol dan komentar- komentar yang membangkitkan semangat kepenulisan. Perlu dipahami tidak semua penulis di dunia maya mengharapkan finansial. Akan tetapi kepuasan jiwa dalam berkarya merupakan faktor utama dalam menulis. Ajang silaturrahim sambil berkarya telah menyita perhatian para pengamat literasi nasional dan dunia. Â