Mohon tunggu...
MUKHLISHAH SYAWALIYAH
MUKHLISHAH SYAWALIYAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI | NIM 43223010129

Mata Kuliah: Pendidikan Anti Korupsi dan Etik UMB. Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG Universitas Mercu Buana Meruya Prodi S1 Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kuis 12 - Eward Coke: Actuus Reus, Mens Rea Pada Kasus Korupsi di Indonesia

30 November 2024   19:49 Diperbarui: 30 November 2024   19:49 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Pendahuluan

Dokumen Pribadi Kuis 12
Dokumen Pribadi Kuis 12

Edward Coke, seorang ahli hukum terkenal dari abad ke-17, memperkenalkan konsep actus reus (tindakan melanggar hukum) dan mens rea (niat jahat), yang menjadi elemen penting dalam menentukan tanggung jawab pidana. Kedua elemen ini diterapkan secara luas dalam sistem hukum modern, termasuk dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia. Actus reus merujuk pada perbuatan nyata yang melanggar hukum, seperti penyalahgunaan wewenang, manipulasi anggaran, atau penerimaan suap. Sementara itu, mens rea mengacu pada niat atau kesengajaan pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok dengan mengorbankan kepentingan publik.

Dalam konteks hukum di Indonesia, korupsi merupakan salah satu masalah sistemik yang membutuhkan pendekatan hukum yang komprehensif. Pemahaman mendalam terhadap actus reus dan mens rea membantu penegak hukum membedakan antara tindakan yang dilakukan karena kelalaian atau tanpa niat jahat dengan tindakan yang benar-benar disengaja. Tantangan terbesar dalam penanganan kasus korupsi sering kali terletak pada pembuktian unsur mens rea, mengingat pelaku korupsi biasanya berusaha menyembunyikan niat mereka melalui manipulasi administrasi atau alibi hukum.

Penerapan prinsip actus reus dan mens rea memberikan kerangka yang adil untuk menilai kesalahan pelaku dan menentukan hukuman yang sesuai. Prinsip ini juga menjadi dasar untuk memastikan keadilan dan akuntabilitas dalam proses hukum, terutama di negara seperti Indonesia, di mana korupsi telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan memperburuk tata kelola negara.

Apa relevansi konsep actus reus dan mens rea dalam mengatasi kompleksitas kasus korupsi di Indonesia yang sering kali melibatkan pejabat tinggi?

Dokumen Pribadi Kuis 12
Dokumen Pribadi Kuis 12

Relevansi konsep actus reus (tindakan melanggar hukum) dan mens rea (niat jahat) sangat signifikan dalam mengatasi kompleksitas kasus korupsi di Indonesia, terutama yang melibatkan pejabat tinggi. Korupsi pada tingkat ini sering kali bersifat sistemik dan melibatkan jaringan yang kompleks, sehingga pembuktian secara menyeluruh terhadap dua elemen dasar ini menjadi kunci untuk memastikan keadilan dan penegakan hukum yang efektif.

Actus reus mengacu pada tindakan nyata yang melanggar hukum, seperti penyalahgunaan jabatan, manipulasi anggaran negara, penerimaan suap, atau pengaturan tender secara curang. Tindakan-tindakan ini biasanya dapat dibuktikan melalui dokumen resmi, bukti transaksi keuangan, atau kesaksian saksi yang relevan. Namun, pembuktian actus reus saja tidak cukup untuk menetapkan kesalahan pidana tanpa disertai pembuktian mens rea, yaitu niat atau kesengajaan pelaku dalam melakukan perbuatan tersebut. Mens rea mengidentifikasi apakah pelaku memiliki maksud jahat untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok tertentu dengan merugikan negara.

Dalam kasus pejabat tinggi, pembuktian mens rea sering kali menjadi tantangan utama karena pelaku biasanya menggunakan pengaruh, kekuasaan, dan jaringan mereka untuk menyembunyikan niat jahat di balik keputusan administratif atau kebijakan yang tampaknya sah. Misalnya, seorang pejabat tinggi mungkin mengklaim bahwa tindakannya adalah bagian dari kebijakan publik, padahal di balik itu ada niat untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui pengaturan terselubung.

Relevansi kedua konsep ini terlihat dari peran mereka dalam membongkar motif tersembunyi di balik tindakan korupsi yang melibatkan aktor-aktor kuat. Dengan membuktikan adanya mens rea, sistem hukum dapat menunjukkan bahwa tindakan tersebut bukan sekadar kelalaian atau kesalahan administratif, tetapi dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh keuntungan yang melanggar hukum. Selain itu, penerapan konsep actus reus dan mens rea membantu memastikan bahwa tanggung jawab tidak hanya jatuh pada pelaku tingkat bawah, seperti operator atau staf pelaksana, tetapi juga pada pengambil keputusan utama yang sering kali berada di balik skema korupsi tersebut.

Dengan pendekatan ini, sistem hukum di Indonesia dapat lebih efektif dalam menegakkan keadilan, memberantas korupsi secara menyeluruh, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga negara yang selama ini dirusak oleh praktik korupsi pejabat tinggi.

Kenapa meskipun ada upaya untuk memberantas korupsi di Indonesia, seringkali hukum tidak mampu menanggulangi praktik korupsi yang terstruktur dan tersembunyi, yang melibatkan manipulasi terhadap kedua unsur actus reus dan mens rea?

Dokumen Pribadi Kuis 12
Dokumen Pribadi Kuis 12

Meski ada upaya yang signifikan untuk memberantas korupsi di Indonesia, hukum sering kali gagal menanggulangi praktik korupsi yang terstruktur dan tersembunyi karena beberapa faktor penting. Salah satunya adalah kompleksitas dan kecanggihan metode yang digunakan oleh pelaku korupsi. Dalam kasus korupsi yang melibatkan manipulasi terhadap actus reus dan mens rea, pelaku biasanya menghindari jejak yang mudah dilacak dengan cara-cara yang sangat terorganisir. Mereka sering kali menggunakan jaringan atau sistem yang kompleks untuk menyembunyikan tindakan melanggar hukum (actus reus) dan niat jahat (mens rea), sehingga menyulitkan penegak hukum untuk menemukan bukti yang cukup.

Selain itu, banyak pelaku korupsi di Indonesia yang memiliki posisi atau kekuasaan yang tinggi, baik di pemerintahan maupun sektor swasta. Ini memberi mereka akses untuk menyembunyikan atau memanipulasi bukti, mempengaruhi saksi, atau bahkan mempengaruhi proses hukum itu sendiri. Dalam situasi ini, mens rea, yang berkaitan dengan niat jahat atau kesengajaan pelaku, sulit dibuktikan karena pelaku sering kali berusaha menutupi niat mereka dengan berbagai cara, seperti dengan membuat kesepakatan tersembunyi atau mengaburkan tujuan asli dari tindakan mereka.

Birokrasi yang rumit dan kurangnya transparansi dalam pemerintahan juga memberi ruang bagi praktik korupsi untuk berkembang, bahkan pada tingkat yang lebih rendah sekalipun. Selain itu, budaya impunitas yang sudah mengakar dalam banyak sektor pemerintahan membuat pelaku korupsi merasa aman dari hukuman, meskipun tindakan mereka dapat dibuktikan secara fisik.

Dengan segala tantangan ini, penegakan hukum yang efektif membutuhkan lebih dari sekadar pembuktian actus reus dan mens rea---dibutuhkan reformasi struktural, transparansi yang lebih besar, dan kemauan politik yang kuat untuk memberantas korupsi secara menyeluruh.

Bagaimana sistem hukum Indonesia dapat memperbaiki kelemahan dalam membuktikan mens rea dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dengan sumber daya yang cukup untuk mengaburkan bukti?

Dokumen Pribadi Kuis 12
Dokumen Pribadi Kuis 12

Sistem hukum Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membuktikan mens rea (niat jahat) dalam kasus korupsi, terutama yang melibatkan pejabat tinggi dengan sumber daya yang cukup untuk mengaburkan bukti. Untuk memperbaiki kelemahan ini, beberapa langkah dapat diambil:

  1. Peningkatan Kualitas Penyidikan dan Bukti Elektronik
    Salah satu cara untuk mengatasi masalah pembuktian mens rea adalah dengan memanfaatkan bukti elektronik dan teknologi modern. Bukti seperti rekaman percakapan, email, atau transaksi keuangan dapat mengungkapkan niat pelaku yang mungkin sulit dilihat dari tindakan fisik saja. Penyidik perlu dilatih untuk mengidentifikasi dan mengolah bukti elektronik ini dengan tepat guna membuktikan adanya niat jahat.
  2. Penerapan Prinsip Pembuktian Terbalik
    Dalam beberapa kasus, terutama yang melibatkan pejabat tinggi, pembuktian terbalik bisa menjadi solusi. Prinsip ini mengalihkan beban pembuktian pada terdakwa untuk membuktikan bahwa mereka tidak berniat jahat atau tidak terlibat dalam tindak pidana korupsi. Ini akan mengurangi kemungkinan bahwa pelaku menggunakan kekuasaan atau pengaruh untuk menyembunyikan bukti atau menyalahgunakan posisi mereka.
  3. Peran Pengadilan Khusus atau KPK
    Pemberian kewenangan lebih besar kepada lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki akses lebih luas dan lebih independen dalam penyelidikan kasus korupsi bisa menjadi solusi. KPK memiliki pengalaman dalam menangani kasus-kasus besar dan kompleks yang melibatkan pejabat tinggi, dan mereka dapat menggunakan teknik penyelidikan yang lebih canggih untuk mengungkapkan bukti niat jahat pelaku.
  4. Peningkatan Transparansi dan Akuntabilitas
    Reformasi dalam pengelolaan sumber daya dan keuangan negara, serta transparansi dalam pengadaan barang dan jasa, dapat membantu mengurangi peluang korupsi. Selain itu, pembentukan mekanisme pengawasan yang lebih kuat di berbagai sektor pemerintahan akan mempersempit ruang bagi pejabat tinggi untuk mengaburkan bukti atau menyalahgunakan wewenang mereka.
  5. Edukasi dan Pelatihan Hukum yang Lebih Baik
    Untuk memperkuat kapasitas para penegak hukum, termasuk jaksa, hakim, dan penyidik, dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, perlu ada peningkatan dalam pelatihan tentang teknik pembuktian yang lebih efektif, terutama dalam mengungkap niat jahat (mens rea). Pendekatan ini dapat membantu para profesional hukum memahami dan menangani kasus korupsi yang lebih kompleks dengan lebih baik.

Studi Kasus: Korupsi Proyek Pembangunan Jalan Trans-Sumatera

Dokumen Pribadi Kuis 12
Dokumen Pribadi Kuis 12

Kasus korupsi dalam proyek pembangunan Jalan Trans-Sumatera melibatkan penyalahgunaan anggaran yang signifikan oleh pejabat pemerintah dan kontraktor. Tindakan melanggar hukum (actus reus) berupa mark-up anggaran, penggelapan dana, dan manipulasi dokumen dilakukan untuk memperkaya diri pribadi melalui proyek infrastruktur besar ini. Niat jahat (mens rea) terlihat dari perencanaan kolusi antara pejabat dan kontraktor untuk memanipulasi biaya proyek, dengan tujuan memperoleh keuntungan pribadi. Proses hukum melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyidikan, namun menghadapi tantangan besar terkait penghindaran pengawasan dan upaya pembelaan dari para terdakwa. Meskipun beberapa pelaku dihukum, proses penegakan hukum ini mengungkapkan perlunya reformasi dalam sistem pengadaan dan pengawasan proyek, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas untuk mencegah praktik serupa di masa depan.

Kesimpulan

PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
PPT Modul dosen Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG

Penerapan konsep actus reus dan mens rea dalam sistem hukum Indonesia memiliki relevansi yang sangat penting dalam memberantas korupsi, terutama yang melibatkan pejabat tinggi. Actus reus mengacu pada tindakan nyata yang melanggar hukum, sementara mens rea berkaitan dengan niat jahat pelaku. Kedua elemen ini membantu dalam membedakan antara tindakan yang terjadi karena kelalaian atau kesalahan administratif dan tindakan yang sengaja dilakukan untuk keuntungan pribadi dengan merugikan negara. Namun, dalam praktiknya, pembuktian mens rea sering kali menjadi tantangan besar, terutama dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, yang sering kali memiliki kekuasaan dan sumber daya untuk menyembunyikan bukti dan niat mereka. Dalam kasus-kasus seperti ini, sistem hukum Indonesia perlu meningkatkan kemampuan penyidikan, memanfaatkan teknologi modern untuk mendukung pembuktian, serta memperkuat mekanisme pengawasan dan transparansi. Selain itu, penerapan prinsip pembuktian terbalik dan pemberian kewenangan lebih besar kepada lembaga seperti KPK dapat membantu mengatasi hambatan dalam mengungkap niat jahat pelaku. Kasus korupsi seperti proyek pembangunan Jalan Trans-Sumatera menyoroti perlunya reformasi struktural untuk memperbaiki sistem pengadaan dan pengelolaan keuangan negara agar korupsi dapat diminimalisir dan kepercayaan publik terhadap lembaga negara dapat dipulihkan.

Daftar Pustaka

Edward, C. (2008). The Elements of Criminal Law: Actus Reus and Mens Rea. Oxford: Oxford University Press.

Sihombing, S. (2015). Korupsi di Indonesia: Perspektif Hukum dan Sistem Politik. Jakarta: Lembaga Kajian Hukum Indonesia.

Djatmiko, P. (2020). Prinsip Pembuktian dalam Kasus Korupsi di Indonesia. Jakarta: Penerbit Hukum Indonesia.

Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia. (2019). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Revisi). Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2022). Laporan Tahunan KPK: Pemberantasan Korupsi dan Tantangan Sistemik di Indonesia. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Yudhoyono, S. (2023). Korupsi dan Peran Negara dalam Penegakan Hukum: Kajian Mengenai Proyek-Proyek Infrastruktur. Jakarta: Pusat Kajian Hukum Indonesia.

Nasution, H. (2016). Korupsi dan Kejahatan Terorganisir di Indonesia: Pemahaman Berdasarkan Teori Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika.

Hasan, F. (2019). Korupsi dan Implikasinya terhadap Tata Kelola Negara di Indonesia. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Mulyadi, A. (2021). Reformasi Hukum Pidana dalam Penanggulangan Korupsi di Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.

Zulkarnain, A. (2018). Praktik Korupsi dalam Proyek Infrastruktur di Indonesia: Analisis Kasus dan Solusi Hukum. Jakarta: Pustaka Cendekia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun