Justru, kali ini aku akan mengisahkan orang-orang hebat yang lain. Kali ini adalah Pu’is Hidayatin (Fakultas Kedokteran UGM), Rico Fernando Mulia Siregar (Filsafat UGM), dan Lee Waren Teguh Napitupulu (Tenik Kimia UGM). mereka adalah mahasiswa normal, relawan yang sanggup membuka mata dan hati nuraninya. Mereka yang turut hadir dalam acara membahas salah satu impianku, berbagi terhadap sesama. Sesuatu yang aku mulai dari lingkungan terdekatku.
Meraka adalah yang sore itu bisa membuatku tersenyum. Mereka memang tidak seperti kami, aku (tuna rungu), Karim dan Havist (tuna daksa). Mereka adalah mahasiswa yang mendapat predikat “sempurna”, meski aku sendiri seringkali sangsi akan makna kesempurnaan yang selama ini menstigma di dalam laci pikiran masyarakat. Karena aku senantiasa percaya, kesempurnaan hanya milik-Nya.
Namun, kali ini aku akan berkata mereka, Pu’is, Rico, Mas Waren, adalah orang-orang yang melebih kesempurnaan seorang manusia. mereka bergabung dengan Mas Reza Bayu V, Faizzana Izahanni, Mba Lita, Mba Qurratul A’yun Ahmada, Mbak Dania, Okky Carolina, dan beberapa nama yang tidak dapat saya sebut satu persatu. mereka, mahasiswa normal/non-difabel, yang kini tercatat sebagai relawan organisasi komunitas yang baru aku dirikan “Forum Mahasiswa Difabel dan Partners”. Sebuah organisasi komunitas yang sejak setahun lalu aku rancang, dengan segala keterbatasan. Dan kadangkala dengan sepotong keegoisan, mengkorbankan tanggung jawab yang mesti dikerjakannya. .
Usai membaca Kompas hari ini, aku kembali berkutat dalam bayang-bayang kabut. Gerimis memang tak kunjung tiba. Tapi kali ini aku ditemani Nietzche. Yang kembali mengingatkanku pada sejarah mereka yang terpinggirkan. Akibat dari konstruksi social yang sudah kadung tercatat sebagai sejarah. sejarah telah lama mengendap dan basah. bahkan terpajang sebagai sebuah monumen sejarah. tak kalah megah dengan monas yang ganas. bahkan hingga menyeret orang sekelas Anas. ^_^
Nutzen und Nachteil der Historie fur das Leben. Perenungan pada kegunaan dan kergian sejarah lewat Die Geburt der Tragedie. Sejarah adalah apa yang terkonstruksi sedemikian rupa, dalam kuasa kenormalitasan. Lalu, sampai kapankah kita senantiasa berada dalam baying-bayang kenormalitasan? Mungkinkah menunggu Sangkakala mengaum dari Isrofil?
Nietzche memang –dikenal- sosok yang tak beragama. Namun bukan berarti kitidakber-agama-an senantiasa minus kebenaran. karena setiap manusia tidak ada yang sempurna. selalu asa plus-minusnya. tinggal bagaimana kita memfilternya. Dan bukan berarti, pengutipan ini aku termasuk orang tak beragama. Aku –Insya Allah- senantiasa menjaga agamaku. Sebab, malam ini aku juga berteman dengan “Cara Cepat Bisa Menghafal Al Qur’an” karangan hafidzah Wiwi Alawiyyah W, Al Mausu’atul Qur’aniyyatul Muyyasarah-nya DR Wahbah Zhuaili (buku hadiah dari bapak), serta Kitab Bahjatunnadhar yang baru saja aku dapat dari teman.
Aku justru kepikiran, “orang beragama bukan berarti ia suci dari ketidakber-agama-an di mata-Nya?”
Yogya, 14 Oktober 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H