Mohon tunggu...
Mukhamad Kurniawan
Mukhamad Kurniawan Mohon Tunggu... Buruh -

Buruh. Seluruh tulisan mewakili diri. Mari menyalakan lilin. Bukan mengutuk kegelapan.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Bung, Inilah Flores!

8 Mei 2016   10:43 Diperbarui: 8 Mei 2016   14:30 1203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Faktor letak membuat Wae Rebo terjaga. Syarat pendakian menyaring pengunjung lebih spesifik. Sebab tidak semua wisatawan mau mencapai obyek tujuan dengan berjalan kaki naik turun menyusuri jalan setapak sepanjang 9 Km.

Wae Rebo dari dalam rumah adat.

 

Semua lelah terbayar ketika sampai di mulut kampung. Udara sejuk, kampung yang tenang, dan tujuh niang (rumah adat) yang berderet: Niang Gena Mandok, Niang Gena Jekong, Niang Gena Ndorom, Niang Gendang Maro, Niang Gena Maro, Niang Gena Pirong, dan Niang Gena Jintam. Jumlahnya tak boleh lebih dari tujuh dan setiap rumah beratap ijuk itu dihuni 6-8 keluarga.

Niang Gendang Maro merupakan rumah adat utama. Diyakini sebagai tempat leluhur pertama kali datang. Tingginya sekitar 14 meter, paling tinggi di antara niang lain, dan di ujung atapnya terdapat Ngando bersimbol kepala kerbau. Kepala kerbau menjadi penanda bahwa telah dilakukan korban sekaligus pengesahan rumah adat.

Turis berinteraksi dengan warga kampung adat Wae Rebo.

Segenap unsur niang memiliki arti. Bagian dalam rumah yang berbentuk bulat mengandung filosofi kesatuan pola hidup yang bulat, tanpa konflik, tulus, bulat hati, dan adil. Ada pula tiang yang disebut bongkok, dua batang kayu yang disambung dan disebut Papa Ngando dan Ngando, simbol perkawinan lelaki dan perempuan. Rumah ditopang sembilan tiang yang menggambarkan siklus dari janin menjadi bayi di dalam rahim.

Segenap keunikan itu membuat kampung Wae Rebo ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya dunia oleh UNESCO sejak tahun 2012.

Pagi di Kelimutu
Selama sepekan mengunjungi beberapa kota, mata saya terpesona oleh alam dan masyarakat Pulau Flores. Tak hanya Wae Rebo, ingatan saya terpaku pada suatu pagi di Taman Nasional (TN) Danau Kelimutu, ketika menanti matahari terbit di dekat tiga danau yang merupakan kawah Gunung Kelimutu.

”Diusahakan jalan sebelum matahari muncul ya,” pinta seorang pemandu sekaligus petugas Resor TN Danau Kelimutu, malam ketika kami tiba di Desa Moni, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, desa terdekat dengan Desa Pemo lokasi danau. Sebab, butuh waktu 30-45 menit jalan kaki dari pelataran parkir hingga puncak tugu, lokasi terbaik untuk menyaksikan matahari terbit di Danau Kelimutu, di ketinggian 1.630 meter di atas permukaan laut.

Menanti matahari terbit di Kelimutu, Nusa Tenggara Timur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun