[caption caption="Coretan tertanggal 8 Maret 2016, 23 hari sebelum operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap anggota DPRD DKI Jakarta dan pengembang, diduga saling terkait. "][/caption]Hari-hari ini ruang Jakarta riuh oleh berita suap terkait reklamasi. Tak hanya anggota DPRD DKI Jakarta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap bos Agung Podomoro Land (APL), juga mencekal bos Agung Sedayu Grup (ASG). Dua dari sederet pengembang pulau reklamasi di Teluk Jakarta.
Penangkapan Sanusi saja sudah bikin heboh. Apalagi diikuti karyawan dan bos pengembang besar yang sebelumnya oleh kebanyakan orang dianggap tidak mungkin tersentuh. Operasi tangkap tangan, lalu diikuti pencekalan, meruntuhkan anggapan itu.
Belakangan, salah satu staf Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, ikut dicekal KPK. Lalu menggiring asumsi publik, ”Bisa jadi Gubernur DKI terseret.” Bagaimana akhirnya? Publik menunggu hasil kerja KPK. Namun, situasi ini jadi salah satu fase pembuktian Ahok bahwa dirinya tak bisa dibeli oleh apa atau siapa pun, bahwa harganya adalah nyawanya.
"Semua orang memang ada harganya. Kalau tidak satu miliar (rupiah), mungkin sepuluh miliar, mungkin seratus miliar rupiah. Tapi ingat, suatu saat akan ada pejabat yang mengatakan, harganya adalah nyawanya. Harga saya adalah nyawa saya!" kata Ahok.
Kalimat itu bukan satu atau dua kali dia sampaikan. Dalam banyak kesempatan menyambut tamu, melantik pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, atau saat menerima siswa sekolah yang bertandang ke Balai Kota Jakarta, Ahok menyampaikannya. Bahkan, jadi judul buku Agus Santosa tentang Ahok, "Hargaku adalah Nyawaku."
Sejak operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Kamis (31/3/2016) malam, berseliweran prediksi yang mengaitkan kasus itu dengan Gubernur DKI Jakarta. Ada yang membawa argumen soal kedekatan Ahok dengan para pengembang meski tanpa bukti. Lalu, tudingan seperti mendapat angin ketika KPK mengumumkan pencekalan terhadap salah satu staf Ahok, Sunny Tanuwidjaja.
Ketika KPK mengumumkan bahwa penangkapan terkait dengan pembahasan peraturan daerah (perda) reklamasi, ingatan saya kembali ke tanggal 10 Maret 2016, 20 hari sebelum OTT. Berdua di ruang kerja Bu Tuty Kusumawati, Kepala Bappeda DKI Jakarta, saya ditunjukkan dua lembar kertas usulan pasal penjelasan yang dilayangkan Badan Legislasi (Baleg) DPRD DKI ke Pemprov DKI. Dia menjawab pertanyaan saya seputar molornya pembahasan perda. Isinya, ada tabel berisi usulan Baleg, juga coretan Pak Ahok.
Ketika itu, saat ditunjukkan lembar kertas itu, terasanya biasa saja, kecuali permintaan berulang-ulang dari Bu Tuty untuk tidak menyiarkannya. ”Off the record, ya, off the record,” pintanya soal isi coretan Pak Ahok. Coretan itu berbunyi: ”Gila kalau seperti ini bisa pidana korupsi!”
Coretan itu adalah penolakan Gubernur DKI atas permintaan Baleg menurunkan besaran tambahan kontribusi pengembang pulau reklamasi. Pak Ahok ingin formula 15 persen nilai jual obyek pajak (NJOP) dari luas lahan yang bisa dijual pengembang (saleable area). Tambahan kontribusi dibayarkan ke Pemprov DKI dalam bentuk natura, seperti rumah susun, jalan, atau jembatan, sebagai wujud ”subsidi silang.” Gubernur DKI ingin warga Jakarta ikut menikmati dampak reklamasi lewat pasal itu.
Akan tetapi, empat bulan pembahasan rancangan perda reklamasi, Baleg dan Pemprov DKI mentok di pasal itu. Sampai OTT KPK, tinggal satu pasal itu yang belum final. Alasan Ketua Baleg DPRD DKI Jakarta, Mohamad Taufik, usulan Gubernur DKI tidak ada dasar hukum dan terlalu besar nominalnya. Menurut kakak kandung Sanusi ini, pengembang bakal keberatan dan tak mampu bayar tambahan kontribusi.
Jika benar OTT KPK terkait pasal itu, bagi saya logis. Sebab, pengembang sangat berkepentingan mengurangi beban tambahan kontribusi yang harus mereka bayar. Bayangkan, jika formula yang diusulkan Pak Ahok lolos dan disahkan dalam perda, berapa triliun rupiah harus dibayarkan sebagai kontribusi? Bayangkan jika Baleg menyetujui usulan Gubernur DKI itu.
Mari kita hitung dengan contoh Pulau G, pulau yang dibangun PT Muara Wisesa Samudra, anak usaha APL yang luasnya 160 hektar. Kalikan saja dengan formula itu, yakn i15 persen x Rp 30 juta per meter persegi (NJOP lahan pulau reklamasi) x 800.000 meter persegi (setara 80 hektar atau separuh dari luas pulau). Kalkulator saya menyebut: Rp 3.600 miliar alias Rp 3,6 triliun! Jika dibandingkan nilai suap yang sejauh ini diendus KPK, angka itu 1.000 kali lipat lebih.
Tenang, hitungan itu baru satu pulau, luasnya relatif kecil. Lima pulau yang akan dibangun PT Kapuk Naga Indah, anak usaha Agung Sedayu Grup, yakni Pulau A, B, C, D, dan E total luasnya 1.331 hektar. Delapan kali lebih luas dari Pulau G milik APL yang bosnya telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Saya tak ingin lebih jauh. Sekali lagi, situasi ini akan jadi siklus pembuktian diri seorang Ahok, bahwa dirinya bersih dari korupsi, bahwa harganya adalah nyawanya. Mengutip kalimatnya yang sering diulang, ”Lu berani taruhan berapa sama gue?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H