Mohon tunggu...
Mukhamad Kurniawan
Mukhamad Kurniawan Mohon Tunggu... Buruh -

Buruh. Seluruh tulisan mewakili diri. Mari menyalakan lilin. Bukan mengutuk kegelapan.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Kawan Seperjalanan...

19 Juli 2015   07:06 Diperbarui: 19 Juli 2015   10:00 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tahun ini, genap 15 tahun saya bersentuhan dengan BNI. Awalnya bukan kesengajaan, tetapi perkenalan di pertengahan tahun 2000 itu berlanjut serius. Bagi saya, BNI adalah kawan satu perjalanan, dari semester pertama bangku kuliah hingga belasan tahun menjejakkan langkah.

Perkenalan itu terjadi di Jalan Imam Bardjo di Pleburan Semarang Jawa Tengah. Selebaran pengumuman di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)  Universitas Diponegoro (Undip) meminta seluruh mahasiswa baru mengambil kartu mahasiswa di BNI Cabang Undip Pleburan. Lalu bersama beberapa teman seangkatan di Jurusan Ilmu Komunikasi saya datang ke kantor BNI.

Ketika itu, kampus FISIP termasuk Jurusan Ilmu Komunikasi masih di Pleburan, sebelum pindah ke daerah Tembalang. Selain itu, tepat di sisi utara gerbang utama kampus, terdapat kantor cabang BNI. Persis di sisi barat lapangan basket kampus. Ada gerbang kecil jalan tembus dari kampus ke BNI.

”Silakan tandatangan di kotak ini,” kata petugas BNI meminta saya menandatangani bagian belakang kartu mahasiswa sekaligus kartu ATM itu. Petugas pun mengulurkan amplop berisi buku tabungan dan beberapa lembar leaflet BNI. Inilah kartu ATM saya! Ada logo BNI, logo Undip, serta foto pemegang kartu dengan latar belakang biru.

Tak hanya ATM, kartu juga berfungsi sebagai identitas mahasiswa. Oleh karena itu, kami tak bisa main-main menjaganya. Sebab, selain urusan administrasi kampus, kartu juga dipakai untuk keperluan transaksi perbankan. Beberapa beasiswa yang saya terima juga ditransfer langsung ke rekening BNI itu.

Kartu multifungsi itu bertahan hingga saya lulus dan meninggalkan kampus pada akhir tahun 2004. Namun, urusan dengan BNI berlanjut. Saya berganti nomor rekening, buku tabungan, dan kartu ATM yang bukan kartu mahasiswa lagi. Kartu ini saya bawa sampai ketika diterima kerja di sebuah perusahaan nasional dan ditugaskan di Bandung, Jawa Barat.

[caption caption="Sejumlah buku rekening saya di BNI "][/caption]

Pada Maret 2005, setelah sempat beberapa bulan bertugas kerja di Bandung, saya pindah tugas ke Purwakarta, Jawa Barat. Di sini, saya memutuskan untuk membuka satu rekening lain di BNI. Pikir saya ini jadi rekening ”cadangan”, khusus buat dana simpanan yang tak akan saya ambil setiap saat sekaligus mendisiplinkan saya untuk menyisihkan sebagian penghasilan.

Rupanya, cerita ”rekening simpanan” itu sampai ke telinga petugas BNI. Pada Juli 2007, seorang petugas ”customer service” di BNI Cabang Purwakarta menyarankan saya membuka rekening tapenas, serupa dengan motif saya membuka rekening simpanan. Dana terdebit secara langsung dari rekening utama setiap bulan dan dana tak bisa dicairkan hingga periode kesepakatan.

Menular

Ketika itu, saya membuka rekening tapenas untuk periode lima tahun. Setiap bulan, dana Rp 500.000 terdebit dari rekening utama. Ketika itu pula saya berangan, lima tahun lagi saya punya simpanan dalam jumlah relatif besar untuk keperluan anak, meski saat itu saya belum menikah! Hahaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun