1. konsep kesetaraan dan keadilan gender belum sepenuhnya diterima oleh semua pesantren.Â
      Menurut Muhammad Naziful Haq,  seorang staf dari International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), gagasan keadilan gender masih menimbulkan perdebatan di beberapa pesantren karena dianggap mengandung nilai-nilai Barat.
    Selain itu, terdapat kekhawatiran bahwa konsep tersebut tidak sejalan dengan ajaran Islam dan dapat merusak tatanan serta nilai-nilai pesantren. Kekhawatiran ini membuka peluang bagi munculnya kasus kekerasan seksual di pesantren yang belum menerapkan pemahaman keadilan gender.
2. Prinsip 'kepatuhan total' (sami'na wa atha'na)Â
    Prinsip tersebut di pesantren terkadang menjadi alat untuk menekan korban. Walaupun prinsip ini penting sebagai bentuk adab santri kepada Kyai, atau hubungan antara anak dengan orang tua, dan yang muda kepada yang tua dalam hal-hal yang baik, jika disalahgunakan, prinsip ini dapat menjadi celah untuk melakukan kejahatan, termasuk kekerasan dan pelecehan seksual.
    Di samping itu, Siti Komariah (2022) menyebutkan bahwa konsep 'kepatuhan total' di pesantren cenderung mengultuskan para pemimpin pesantren, yang justru bisa menjadi bumerang bagi santri.
3. penyalahgunaan kekuasaan.Â
      Masih banyak pimpinan pesantren yang sering menyalahgunakan status atau jabatannya yang dianggap sakral untuk mendapatkan kepercayaan korban dan orang-orang di sekitarnya, guna melakukan kekerasan dan pelecehan seksual.
     Penelitian Geoff McMaster (2020) berjudul "Researches Reveal Patterns of Sexual Abuse in Religion Settings" menjelaskan bahwa karakteristik lembaga agama, termasuk pesantren, seperti kekuasaan, patriarki, ketaatan, dan penghormatan terhadap figur otoritas, justru dapat mempermudah terjadinya kekerasan atau pelecehan seksual.
4. doktrinÂ
    Doktrin yang dibalut dengan label agama sering digunakan sebagai alat untuk mendominasi.