Mohon tunggu...
Mujibur Rahman
Mujibur Rahman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Low profil

Seeker of God

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Perbedaan Pendapat Ulama tentang Hukum Bunga Bank

21 Juli 2024   22:18 Diperbarui: 22 Juli 2024   05:21 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
deepublishstore.com

Gubahan: MUJIBUR RAHMAN 

Para ulama kontemporer memiliki pandangan yang beragam mengenai hukum bunga bank. Belakangan ini, perdebatan mengenai hukum bunga bank kembali mencuat di masyarakat dan menjadi viral. Bahkan, ada seorang profesor yang dilecehkan secara ekstrem karena dituduh 'membenarkan' riba, padahal yang dia maksudkan hanya menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang apakah bunga bank dapat dikategorikan sebagai riba atau tidak.

Riba secara bahasa berarti pertumbuhan atau penambahan. Secara istilah, menurut Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah, riba diartikan sebagai "bertambahnya salah satu dari dua penukaran yang sejenis tanpa adanya imbalan untuk tambahan ini". Contohnya, seperti menukar 10 kilogram beras ketan dengan 12 kilogram beras ketan, atau ketika si A meminjamkan Rp300 ribu kepada si B dengan syarat si B mengembalikan sebesar Rp325 ribu.

Para ulama, baik ulama salaf (mazhab empat) maupun ulama kontemporer, secara universal sepakat bahwa riba adalah haram. Bahkan ulama yang membolehkan bunga bank, juga mengharamkan riba (lihat referensi: Al-Mabsut juz 14 halaman 36, Al-Syarh al-Kabir juz 3 halaman 226, Nihayatul Muhtaj juz 4 halaman 230, Al-Mughni juz 4 halaman 240, Al-Tafsir al-Wasit juz 1 halaman 513).

Dengan demikian, perbedaan pendapat di antara ulama bukan terkait dengan hukum keharaman riba, melainkan terkait dengan hukum bunga bank. Ulama yang mengharamkan bunga bank menganggap bahwa bunga bank sebenarnya termasuk dalam konsep riba, sementara ulama yang membolehkannya meyakini bahwa bunga bank tidak memenuhi syarat riba yang diharamkan.

Dalam kegiatan bank konvensional, terdapat dua jenis bunga:

1. Bunga Simpanan

 Ini adalah bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabah sebagai imbalan atas menyimpan uang di bank, seperti bunga tabungan, bunga deposito, atau bunga atas saldo giro. Bagi bank, bunga simpanan ini dianggap sebagai biaya atau harga yang dibayar untuk mendapatkan dana dari nasabah.

2. Bunga Pinjaman

Ini adalah bunga yang dibebankan kepada para peminjam oleh bank sebagai biaya atas pinjaman yang diberikan, seperti bunga kredit atau bunga atas fasilitas pinjaman lainnya. Bagi bank, bunga pinjaman ini dianggap sebagai pendapatan atau harga yang diterima sebagai imbalan atas pemberian pinjaman.

Dengan demikian, dalam konteks kegiatan perbankan konvensional, bunga simpanan dan bunga pinjaman memiliki peran yang berbeda: bunga simpanan sebagai imbalan kepada nasabah yang menyimpan dana, sementara bunga pinjaman sebagai biaya yang harus dibayar oleh peminjam kepada bank atas pinjaman yang diberikan.

Bunga simpanan dan bunga pinjaman adalah komponen utama dalam struktur biaya dan pendapatan bagi bank. Bunga simpanan merupakan biaya yang harus dibayar kepada nasabah atas dana yang mereka simpan di bank, sementara bunga pinjaman adalah pendapatan yang diterima dari nasabah atas pinjaman yang diberikan oleh bank.

Menurut Ahmad Wardi Muslich dalam bukunya "Fiqh Muamalat" (halaman 503-504), selisih antara bunga pinjaman yang diterima dan bunga simpanan yang dibayar merupakan laba atau keuntungan yang diperoleh oleh bank. Dengan demikian, perbedaan ini mencerminkan aspek penting dalam mekanisme keuangan bank konvensional, di mana bunga simpanan menjadi salah satu komponen biaya yang harus dikeluarkan, sedangkan bunga pinjaman menjadi sumber pendapatan utama.

Para ulama kontemporer memiliki perbedaan pendapat mengenai hukum bunga bank. Sebagian ulama, seperti Yusuf Qaradhawi, Mutawalli Sya'rawi, Abu Zahrah, dan Muhammad al-Ghazali, berpendapat bahwa bunga bank hukumnya haram karena dianggap sebagai riba. Pendapat ini juga dianut oleh beberapa forum ulama Islam yang terkemuka, seperti Majma' al-Fiqh al-Islamy, Majma' Fiqh Rabithah al-'Alam al-Islamy, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Sebagian ulama kontemporer lainnya, seperti Syekh Ali Jum'ah, Muhammad Abduh, Muhammad Sayyid Thanthawi, Abdul Wahab Khalaf, dan Mahmud Syaltut, berpendapat bahwa bunga bank hukumnya boleh dan tidak termasuk dalam kategori riba. Pendapat ini didukung oleh fatwa yang dikeluarkan oleh Majma' al-Buhus al-Islamiyyah pada tanggal 23 Ramadhan 1423 H, yang bertepatan dengan tanggal 28 November 2002 M.

Di samping itu, para ulama yang membolehkan bunga bank juga memberikan alasan bahwa jika bunga bank dianggap haram, maka tambahan atas pokok pinjaman seharusnya juga dianggap haram, meskipun tambahan tersebut tidak dijadikan syarat dalam akad pinjaman. Namun, menurut pandangan mereka, tambahan ini boleh, sehingga bunga bank juga dianggap boleh, karena pada dasarnya tidak ada perbedaan antara bunga bank dan tambahan atas pokok pinjaman tersebut.

Pada Munas 'Alim Ulama NU di Bandar Lampung tahun 1992, terdapat tiga pendapat mengenai hukum bunga bank. Pertama, ada pendapat yang menyamakan bunga bank dengan riba secara mutlak sehingga dianggap haram. Kedua, ada pendapat yang memisahkan antara bunga bank dan riba sehingga dianggap boleh. Ketiga, ada pendapat yang menganggap bunga bank memiliki status syubhat atau ragu-ragu. Meskipun demikian, Munas menganggap penting untuk mencari solusi guna menentukan sistem perbankan yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

Dari uraian tersebut, dapat dipahami bahwa hukum bunga bank merupakan permasalahan khilafiyah di antara ulama. Ada yang mengharamkannya karena dianggap termasuk riba, dan ada yang membolehkannya dengan alasan tidak memenuhi syarat riba. Namun, semua ulama sepakat bahwa riba secara mutlak hukumnya haram.

Dalam menghadapi perbedaan pendapat seperti ini, prinsip saling toleransi dan menghormati pendapat harus diutamakan. Setiap kelompok ulama telah melakukan ijtihad dengan sungguh-sungguh dalam menentukan hukum terkait, dan pada akhirnya pendapat mereka tetap berbeda.

Oleh karena itu, sebagai seorang Muslim diberikan kebebasan untuk memilih pendapat yang diyakini sesuai dengan keyakinan pribadinya. Jika seseorang yakin bahwa bunga bank boleh, ia dapat mengikuti pendapat ulama yang membolehkannya. Namun, jika ada keraguan dalam hatinya, ia dapat mengikuti pendapat ulama yang mengharamkannya.

Note: *in note reference *Nu online reference 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun