Fragmen Empat Semua sudah pergi. Tinggal aku sendirian. Bibiku sudah lama tidak tinggal di sini. Sedang paman sering pergi untuk urusan yang aku tidak tahu. Mungkin bekerja, mencari uang. Aku tidak tahu. Paman juga tidak pernah mengatakan ke mana ia pergi. Hanya dalam beberapa kesempatan ia sering mengatakan ia mencari uang. Aku tidak paham apa arti semua itu. Kepergian bibiku dan peristiwa-peristiwa sebelumnya. Aku belum mengerti persoalan orang dewasa. Satu hal yang aku tahu dengan pasti. Aku harus melanjutkan hidupku. Aku mesti menjalani semuanya dengan kesendirian itu. Bukan hanya belajar untuk hidup mandiri seperti nasihat yang sering masuk di telingaku. Tapi benar-benar sendiri. Aku, ibarat mendayung perahu sendirian. Aku adalah perahu yang ikut retak, sebagaimana perahu pamanku yang sudah retak lebih dahulu. Tangan kecilku mesti mendayung kuat-kuat untuk bisa kembali ke daratan. Dan aku, dengan pikiran kanak-kanakku, tak tahu ke mana aku akan sampai. Aku terus melanjutkan kehidupanku sehari-hari. Masak untuk sarapan, mencuci piring, mencuci baju, dan menyiapkan kebutuhanku sendiri. Tentu saja aku tak akan lupa satu hal: belajar! Aku masih tinggal di rumah balai desa itu. Dan kelak aku akan tahu, aku akan tinggal di rumah ini dua hingga tahun lagi. Sampai rumah yang paman bangun, yang terletak beberapa meter ke arah timur dari tempat tinggalku sekarang, selesai. Aku masih beruntung. Tetangga-tetanggaku adalah orang baik. Bahkan, hampir semuanya. Mereka kerap kali memberiku sayuran untuk kumasak, atau memberi lauk sekadarnya. Namun, aku sering membayangkan betapa enak tinggal bersama sebuah keluarga yang utuh. Aku tidak menyadari kalau aku seperti benih yang direnggut dari persemaiannya. Kemudian dipaksa untuk berjuang hidup sendiri. Kadang aku iri dengan teman kelasku, tetangga sebelah timur rumah yang aku tempati kini. Ia tinggal dengan keluarga yang utuh. Bersama bapak dan ibunya. Sedang aku tidak. Tapi aku tetap menjalani semuanya. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari. Juga dengan masa depanku. Saat ini aku masih anak-anak. Tidak bisa membayangkan semua itu. Untuk membayangkan sebab-sebab seluruh peristiwa yang terjadi saja aku tidak bisa. Aku menjalani hari-hariku dengan perasaan biasa. Meski tetap seperti ada yang kurang. Dan aku merasa kesepian. Aku memang dekat dengan pamanku. Aku bahkan ia sudah menganggapku sebagai anaknya. Tapi, hatiku tetap merasa lain. Aku tetap merasa bahwa aku hanya menumpang di rumah itu. Aku tetap merasa bahwa aku bukan anaknya. Aku sudah kelas empat sekarang. Tidak ada masalah dengan pelajaran sekolahku. Aku tetap menjadi juara kelas. Aku juga tidak punya masalah dengan buku-buku yang aku butuhkan. Entah, aku senang sekali membeli buku. Aku senang memiliki buku sendiri. Walaupun sekolah meminjamkan buku pelajaran. Sering aku diam-diam mencari tahu buku apa yang dipakai guruku untuk mengajar. Lalu aku minta paman untuk membelikan buku itu. Tentu saja pamanku dengan senang hati membelikannya untukku. Apakah menjadi juara kelas itu selalu menyenangkan. Aku jawab tidak. Sebab semua mata akan tertuju padamu. Semua orang akan beranggapan, dengan buku yang kamu miliki yang murid lain tidak punya, bahwa kamu tahu semuanya. Begitu juga dengan para guru. Pernah terbukti suatu ketika bahwa aku ternyata juga bodoh untuk pelajaran tertentu. Waktu itu pelajaran sejarah. Nama mata pelajarannya Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa disingkat PSPB. Guru kami menerangkan Kerajaan Kutai. Guru itu bertanya pada para murid siapa nama salah satu raja kerajaan itu. teman-teman tidak ada yang tahu. Aku hanya ingat nama itu samar-samar. Lalu beliau bertanya padaku. Aku agak terkejut. Dengan tergagap kujawab, “Asmaraman.” Langsung guru itu mengoreksi, “Mulawarman”, katanya. Aku malu karena kesalahan itu. Aku hanya mengingat nama itu sekilas. Ingatan itu bercampur dengan nama seorang pengarang komik: Asmaraman S Kho Ping Ho. Aku sering mendengar namanya disebut dalam pembuka sandiwara radio. Aku selalu mengingat kesalahan itu. Bahkan hingga tumbuh besar. Satu lagi kejadian yang akan selalu kuingat waktu aku duduk di kelas empat itu. Entah hari ketika itu. Waktu itu sekolah sudah pulang. Aku masih berada di dalam kelas. Sedang semua temanku sudah pulang. Seperti biasa guru kelas kami akan mengunci pintu kelas kami. Beliau datang dan aku tidak mengetahuinya. Ketika aku akan keluar, ia sudah berada di depan pintu yang sudah ia tutup. Terdengar bunyi klak dua kali. Artinya pintu sudah dikunci. Aku takut. Aku mengira aku akan dikurung di dalam kelas. Aku tidak menangkap isyarat bahwa guru itu bercanda. Aku hanya berdiri di balik pintu. Dari kaca jendela sebelah pintu itu aku lihat guru senyum-senyum. Aku hanya memandangnya. Aku gemetar. Agak lama guru itu baru membuka pintu. Langsung aku keluar. Tanpa bicara sepatah kata pun aku berlalu dari hadapannya. Lalu berlari pulang. [* ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H