Fragmen Dua
Aku telah kembali ke rumah balai desa. Perasaan takut pada pamanku belum juga mau hilang. Aku menjalani kegiatan seperti biasa. Bangun pagi-pagi, terus shalat subuh. Menyapu lantai hingga ke teras balai desa. Mencuci piring. Kemudian menyiapkan peralatan sekolah. Setelah itu mandi di sendang seperti biasa dan pergi ke sekolah.
Kini aku bisa bertemu lagi dengan teman-temanku.
Bibi sering pergi ke rumah ibunya. Aku sering diajak serta kalau aku sedang libur atau kebetulan hari Minggu. Aku tak pernah menolak kalau diajak bibi. Di rumah bibiku pasti banyak jajan. Itulah yang membuatku tak sekali pun ada keinginan untuk menolak. Di ruang tamu pasti akan berjajar toples-toples yang berisi jajan. Kadang ampyang, wajik, tape ketan, dan makanan lain. Rempeyek kacang, menjadi makanan favoritku. Lalu di meja makan pasti tersedia beraneka lauk. Tidak seperti bibi yang paling-paling cuma memasak sayur kacang panjang dan tempe goreng. Tak jarang aku dikasih uang oleh nenek (ibu bibiku).
Rumah nenek jauh dari jalan raya. Setelah turun dari kendaraan umum kami melewati hutan karet, jalanan berbatu, dan persawahan. Barulah kami sampai di sana. Perjalanan itu kami tempuh satu sampai satu setengah jam. Di tempatku sepeda motor juga masih jarang-jarang. Juga tukang ojek di pinggir jalan tempat kami turun dari angkutan. Sehingga kami harus jalan kaki. Beruntung karena jalanan yang kami lalui teduh oleh pohon-pohon yang tumbuh di pinggir-pinggirnya. Juga hutan karet itu, membuat udara di sekitar kami terasa sejuk. Angin bertiup menimbulkan berisik dedaunan. Diikuti beberapa dedaunan berwarna kuning yang berjatuhan.
Hari Minggu, setelah seminggu sebelumnya kami ke rumah nenek. Aku diajak pergi oleh bibi. Aku membayangkan kami akan ke kota, membeli bakso dan menonton film di gedung bioskop seperti yang sudah-sudah. Tapi tidak. Kami tidak turun di kota. Aku memandang sekeliling. Sebuah bukit tegak berdiri agak jauh di hadapanku. Lalu bibi menunjuk ke puncak bukit itu. Katanya di atas sana, di lereng bukit itu terdapat sebuah gua. Dan pernah dibuat untuk shooting film. Rupanya desa yang kami injak sekarang berada di kaki bukit. Aku membaca tulisan di sebuah gapura; Desa Tlogo. Oh, namanya Desa Tlogo. Aku membatin.
Kami menuju ke sebuah rumah. Bibi menggandeng tanganku. Kalau tidak salah hampir lima menit kami berjalan. Beberapa saat kemudian kami sudah berdiri di depan rumah itu. Pintu rumah itu setengah terbuka. Suara televisi terdengar dari dalam. Sebuah lagu yang aku tak tahu siapa penyanyi dan pengarangnya. Aku menduga ini pasti acara Album Minggu di TVRI. Tidak lama kami menunggu di luar, seorang perempuan mempersilakan. Umurnya tidak jauh lebih tua dari bibi.
Kami berdua duduk di ruang tamu yang tak terlalu luas. Seorang lelaki setengah baya keluar duduk sebentar kemudian masuk lagi. Tidak lama setelahnya perempuan itu keluar lagi dengan dua gelas teh serta piring dan toples berisi makanan kecil. Dan mempersilakan kami menikmati teh itu. Televisi masih menyiarkan acara Album Minggu. Lagu-lagu mengalun dan celoteh penyiar silih berganti. Ada satu lagu yang kuhafal liriknya. Kubaca di layar televisi hitam putih itu judulnya ”Dokter Cinta”. ”Dokter cintaku, kau sembuhkan sakitku dengan kasih sayangmu. Rasa kecewa yang dulu tiada terasa lagi...dokter dokter cintaku engkaulah pujaan, dokter dokter cintaku engkaulah harapan..” Aku ikut menyanyi dalam hati. Aku hafal berbagai macam lagu. Dari dalam suara lelaki tadi memanggil bibi. Bibi masuk ke ruang sebelah yang berbatasan dengan dapur. Aku masih menonton televisi.
Acara ”Album Minggu” selesai. Kini siaran berita. Bosan menonton televisi aku ikut ke ruangan sebelah. Di ruangan itu bibi duduk membelakangi lelaki itu yang terpejam dengan mulut komat-kamit. Beberapa waktu kemudian bibi disuruh tengkurap menyingkapkan bagian belakang baju yang dikenakannya. Lelaki itu masuk ke kamar dan keluar sambil membawa kotak berwarna hitam dan segelas air putih. Kotak itu berisi batu bermacam warna dan bentuk. Ia mengambil salah satunya dan menggosok-gosokkan ke kulit punggung bibi. Tidak terjadi apa-apa. Aku bertanya-tanya, apa yang dilakukan orang tua itu?
Kemudian ia mengganti dengan batu lain. Ukurannya lebih kecil dari yang tadi. Warnanya putih. Ia menggosokkan lagi batu itu ke punggung bibi sambil merapalkan sesuatu berulang-ulang. Aku tak paham apa yang diucapkannya. Sepertinya sebuah doa. Aku mendengar kalimat Arab di beberapa bagiannya. Beberapa saat kemudian beberapa buah paku kecil menempel di batu tersebut. Ukurannya sekitar satu senti. Aneh. Seperti keluar dari balik kulit. Tiap kali lelaki itu menggosokkan batu yang dipegangnya, menempel lagi beberapa paku yang dijatuhkan di atas cawan, di samping lelaki itu. Lelaki itu terus melakukannya hingga tak ada lagi yang menempel di batunya. Aku hanya diam mengamati.
Aku baru menyadari beberapa saat kemudian kalau lelaki itu dukun. Sebagai seorang anak-anak, hal itu adalah pengalaman menakjubkan. Meskipun aku dan anak-anak sebayaku di dusun sudah pernah, bahkan tak jarang, mendengar kata santet dan dukun. Kami tak pernah melihat secara langsung. Kini aku melihatnya. Aku benar-benar melihatnya. Benda-benda seperti paku bisa keluar dari balik kulit. Hi, aku sedikit merinding mengingat peristiwa itu.
Jogja, 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H