Mohon tunggu...
Mujib Fatkur
Mujib Fatkur Mohon Tunggu... Guru - Guru

Manusia yang tidak memiliki daya tarik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perspektif Sosiokultural: Refleksi Melalui Alur Merdeka Studi Kasus di Kabupaten Jember

25 September 2024   05:40 Diperbarui: 25 September 2024   07:40 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

1. Mulai Dari Diri: Apa yang Saya Pikirkan Sebelum Memulai Proses Pembelajaran?

Sebelum mempelajari topik ini, saya melihat pendidikan sebagai sistem yang seragam, tanpa mempertimbangkan perbedaan budaya atau nilai-nilai sosial di berbagai daerah. Saya berpikir bahwa setiap daerah di Indonesia, termasuk Kabupaten Jember, akan menjalankan pendidikan dengan pendekatan yang sama di bawah kurikulum nasional. Namun, saya tidak terlalu memikirkan bagaimana konteks sosial dan budaya setempat bisa berdampak besar terhadap cara anak-anak belajar.

2. Eksplorasi Konsep: Apa yang Saya Pelajari dari Konsep yang Dipelajari?

Melalui kajian tentang perspektif sosiokultural, saya mulai menyadari bahwa pendidikan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat. Setiap daerah memiliki nilai-nilai, kebiasaan, dan tantangan unik yang memengaruhi bagaimana siswa belajar. Di Jember, misalnya, gotong royong dan kearifan lokal dalam komunitas agraris bisa memberikan dampak yang besar pada pendekatan pembelajaran. Kurikulum Merdeka memungkinkan adanya adaptasi terhadap konteks lokal ini, memberi ruang bagi sekolah untuk mengembangkan metode yang lebih relevan dan bermakna bagi siswa.

3. Ruang Kolaborasi: Apa yang Saya Pelajari dari Rekan-Rekan?

Dalam diskusi dengan rekan-rekan, saya memahami lebih dalam tentang pentingnya kolaborasi antara guru, sekolah, dan masyarakat untuk mendukung pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan lokal. Teman-teman dari daerah lain juga berbagi pengalaman mereka, sehingga saya menyadari bahwa setiap daerah punya tantangan unik dalam menerapkan pendidikan berbasis budaya. Kolaborasi ini memperluas wawasan saya bahwa guru bukan sekadar penyampai materi, tetapi juga sebagai fasilitator yang harus peka terhadap dinamika sosial-budaya setempat.

4. Demonstrasi Kontekstual: Apa yang Saya Pelajari dari Proses Demonstrasi Kontekstual?

Melalui simulasi di ruang kelas, saya belajar bahwa melibatkan konteks lokal seperti tradisi, lingkungan, dan kehidupan sehari-hari bisa membuat pembelajaran lebih efektif. Di Jember, misalnya, saya bisa menerapkan kegiatan berbasis alam yang melibatkan pertanian lokal untuk memperkuat konsep sains dan keterampilan sosial. Proses ini tidak hanya mendekatkan siswa dengan materi, tetapi juga mempererat hubungan mereka dengan budaya lokal, yang pada gilirannya membuat belajar menjadi lebih bermakna.

5. Elaborasi Pemahaman: Apa yang Berubah dari Pemahaman Awal?

Setelah melalui proses ini, saya semakin memahami bahwa pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang tidak hanya fokus pada aspek akademis, tetapi juga pada pengembangan karakter dan identitas siswa berdasarkan konteks budaya mereka. Awalnya, saya berpikir bahwa pendidikan harus berfokus pada target pencapaian kurikulum nasional, tetapi kini saya sadar bahwa kesuksesan pendidikan juga tergantung pada relevansi materi dengan kehidupan sosial dan budaya siswa. Saya tertarik mempelajari lebih lanjut tentang bagaimana merancang metode pembelajaran yang lebih fleksibel dan kontekstual.

6. Koneksi Antar Materi: Apa yang Saya Pelajari dari Koneksi Antar Materi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun