“Mau kemana?” tanya pemilik tangan itu.
Gina pun berpaling, degup jantungnya tak bisa berhenti, malah semakin cepat. Wajah ini, yang begitu ia rindukan, ah kenapa harus muncul lagi di hadapannya.
“Masuk yuk, aku sudah pesankan Caffucino kesukaan kamu...” ajak Bagus sambil menuntunnya.
Gina mengikuti langkah Bagus, seperti berjalan menuju keabsurdan atau mungkin juga labirin raksasa, karena ia yakin ia takkan bisa menemukan jalan keluar lagi, hufffhh...
“Apa kabarmu ?” tanya Bagus dengan santainya.
Gina masih bernegosiasi dengan pikiran dan hatinya sendiri. Ia terlalu sibuk memikirkan banyak hal, ditambah lagi siluet-siluet masa lalu yang terus bergantian ditayangkan di hadapannya.
“Hey manis... ngelamunin aku ya ?” tanya Bagus lagi masih dengan flat nya.
“Eh.. kabar aku baik, kamu gimana ?” Suasana masih begitu canggung. Bahkan saat ini Gina tak tahu harus mengobrol apa lagi.
“Aku... baik donk.. Eh... anak kamu udah berapa ?”
Deg.. jantung Gina langsung pengen copot, kenapa Bagus bertanya seperti itu.
“A-k-u...b-e-l-u-m...m-e-r-i-d” jawab Gina terbata.
“Whats?? Kenapa ?” tanya Bagus heran.
Karena nungguin kamu Gus... gumam Gina dalam hati.
“Kamu gimana ?” tanya Gina malas. Takut akan jawaban Bagus. Selama ini ia memang selalu takut akan kata ending atau akhir. Ia bahkan tak pernah baca buku hingga akhir karena ia takut akhirnya tidak seperti yang ia inginkan.
“Aku....” Bagus menahan katanya sambil mengambil hape nya dan mulai mencari sesuatu.
“Lihat deh ini...” kata Bagus sambil memperlihatkan sebuah foto di hape nya.
Gina melihatnya, foto keluarga.
“Itu foto ku dan anak-anak. Anakku sudah 2 Gin...” ia menerangkan dengan cerianya, seolah ingin mengatakan pada dunia kalau saat ini ia lelaki paling bahagia.
“Ohhhhhhh....” cuma itu yang bisa keluar dari mulut Gina.
Setelah itu lagi-lagi percakapan didominasi oleh Bagus, dan Gina cuma oh-ah-ih-uh-eh saja.
Gina begitu sibuk dengan pikirannya, bagaimana bisa ia mengharapkan orang yang sama sekali tak memandangnya, tak mengacuhkannya, bahkan mungkin tak menyadari kehadirannya.
Hati memang tak bisa ditebak. Mata pun tak dapat dipercaya. Rasa juga bisa berdusta.
Padahal dipikirnya Bagus suka, Bagus sayang, Bagus cinta dengannya. Jadi apa maksud kebaikannya selama ini ?? Ternyata lelaki... Hmmm...mungkin memang salahnya, wanita yang sering salah mengartikan kebaikan lelaki. Aaarrrggghhh...berbagai pikiran dan pertanyaan itu rasanya membuat kepala Gina mau pecah.
Hingga sebuah suara menyadarkannya. Dering lagu Donita-menanti sebuah jawaban dari ponselnya itu seperti sebuah dewa penolong untuknya.
“Iya Yo.. Apa?? Kamu jemput aku ?? Oh ya... oke...” jawab Gina di telepon.
“Gus, aku udah dijemput nih. Aku duluan ya...” kata Gina sambil mengambil tasnya dan siap-siap beranjak dari situ.
“Oya.. kalo gitu kita sama-sama aja...” Bagus ikut berdiri.
“Oke...” jawab Gina.
Mereka pun berjalan beriringan. Di depan sudah ada Toyota Yaris Silver terparkir dan di sampingnya ada cowo keren sedang menunggu seseorang nampaknya.
“Gus.. itu temen aku... Kita pisah disini ya...” kata Gina sambil menunjuk ke arah cowo keren itu.
“Kamu ga mau ngenalin aku nih ?” tawar Bagus.
“Oh..eh..ga deh...” tolak Gina halus. Ia pikir lebih baik kalau Rio tidak mengenal Bagus dan Bagus tidak mengenal Rio.
“Oke.. oya, pesanku, sepertinya dia orang yang baik, jangan disia-siakan” ucap Bagus sebelum berlalu.
Gina cuma bisa diam dan menghampiri Rio.
***
“Jadi gimana Gin? “ tanya Rio saat mereka di dalam mobil, mulai berjalan menjauh dari cafe tadi.
Gina cuma diam.
“Pastinya hepi donk...” tanya Bagus lagi.
“Harusnya aku mendengar kata hatiku. Harusnya aku percaya kalo dari awal aku memang tidak pernah ada dalam rencana masa depannya” jawab Gina getir.
“CCCiiiiiiittttttt.....”, Rio mendadak memarkir mobilnya ke samping. Ia ingin mendengar lebih jelas sekali lagi kata-kata Gina tadi.
“Maksud kamu Gin?” tanyanya tanpa basa-basi.
“Ya... dia tak pernah melihatku. Aku tak berarti apa-apa. Aku tak ada dalam rencana masa depannya. Dia...jahat banget !!!” jelas Gina lagi dengan emosi.
Rio menarik napas panjang, membiarkan Gina meluapkan emosinya, memaki Bagus sejadi-jadinya. Kemudian... ia mulai menyiapkan keberanian untuk mengatakan apa yang sudah lama ingin dikatakannya ini.
“Tapi kamu slalu ada dalam rencana masa depanku Gin...” ucap Rio sambil menatap Gina dengan penuh kasih sayang.
Gina tersentak. Ia yang dari tadi menunduk karena menahan tangis nya, lalu menengadah dan melihat ke arah Rio.
Rio, kenapa ia tak pernah tersentuh sedikitpun, ia sama jahatnya dengan Bagus karena tak menyadari kehadiran seseorang yang begitu berharga di hidupnya. Orang yang slalu ada tapi tak terlihat karena tertutup oleh sesosok masa lalu. Terimakasih Tuhan, ia masih diberi kesempatan.
Gina speechless. Saat itu ia tak tahu harus berkata apa dan tak tahu harus berbuat apa.
Dan ia begitu menikmati detik berikutnya ketika Rio membawanya ke pelukannya dan membiarkan Gina menangis di bahunya.
“Maafkan aku Yo....”.
“Ssssttttttt....” potong Rio.
“Ga ada yang perlu dimaafkan Gin, aku menikmati semua perjalanan ini. Aku melalui semua proses ini dengan sepenuh hati. Dan aku menyerahkan semuanya kepada Tuhan” jelas Rio.
Ia pun teringat kata seorang teman ketika ia begitu mengharapkan Bagus, “Not only him in your future”. Sekali lagi Gina cuma bisa mengucap syukur, rencana Tuhan memang begitu indah.
***
Aduh... Sory ya kelanjutannya lama banget baru di post, hihi...
Habisnya aku sibuk bangett...
But, this is end.
Akhirnya Gina ma Rio, gapapa yaa...hehe..
Sekali lagi mohon kritik dan sarannya, makasih.
Love,
Mujay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H