Mohon tunggu...
Muhammad Jasrif Teguh
Muhammad Jasrif Teguh Mohon Tunggu... Apoteker - Strategy and Corporate Risk Management - Founder IDN-Pharmacare Institute - Penulis

Strategy and Corporate Risk Management - Founder IDN-Pharmacare Institute - Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Naga dalam Mitologi Nusantara

31 Desember 2021   22:58 Diperbarui: 8 Januari 2022   17:57 1453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi patung naga di Bandara Yogyakarta International Airport/YIA (Sumber : dok. pribadi)

Sejatinya Naga bukanlah sekedar mitologi hewan/sosok yang asing di nusantara. Menyoal keberadaan patung Naga di Bandara YIA, bukan hanya keliru, tapi juga menandakan pemahaman yang kurang terhadap jati diri budaya nusantara. 

Hal ini berkembang seiring polemik di jagat maya setelah salah satu politisi partai politk mempertanyakan hal tersebut di twitternya. "Kenapa bukan Patung Garuda atau Patung Pahlawan yg dipasang di sini?" begitu kira-kira pertanyaannya.

Kontan saja hal tersebut menjadikan riuh di jagat maya dan dibahas pada banyak media online. Sebenarnya pertanyaan tersebut bisa saja memang bermakna keingintahuan. 

Namun mengingat yang bertanya adalah sosok seorang politisi dan pegiat media sosial, maka tidak heran hal tersebut melebar kemana-mana.

Mulai dari tanggapan yang berupaya menjelaskan kaitan antara naga dengan Yogyakarta sampai pada tanggapan yang justru menanyakan motif dari pertanyaan tentang patung naga tersebut. 

Beberapa mencoba mengaitkan dengan upaya tendensius mengaitkan dengan etnis tertentu. Sudah barang tentu hal ini akan kembali memanaskan isu-isu yang kurang produktif.

Naga adalah salah satu makhluk mitos yang populer dan bertahan lama. Cerita tentang naga dikenal di banyak budaya, dari Amerika sampai Eropa, dan dari India sampai Cina. Kisah tentang naga memiliki sejarah panjang dan memiliki berbagai bentuk.

Keberadaan naga dan makhluk mitos lainnya muncul dalam banyak dongeng anak-anak, dan biasanya mewakili tokoh antagonis yang menakutkan. 

Makhluk ini bukan hanya hidup dalam cerita pengantar tidur, tetapi juga ditemukan dalam cerita rakyat kuno di seluruh dunia.

Dalam tradisi Eropa, naga biasanya digambarkan sebagai makhluk besar jenis reptil dengan sayap besar yang menyemburkan api dan suka menyerang. 

Sedangkan di Asia, naga tak memiliki sayap, biasanya merupakan simbol kesuburan yang bermanfaat, berkaitan dengan air dan merupakan utusan surga.

Jadi naga bukanlah identitas etnis tertentu katakanlah Cina meskipun sering kita lihat naga biasanya hadir dalam pertunjukkan barongsai ataupun film-film Cina. 

Sering juga kita lihat naga hadir dalam berbagai film Hollywood ataupun Eropa. Seperti film Lord of The Rings, The Hobbit, Game of Thrones, Shang-Chi dan lainnya.

Sedangkan di Indonesia, masyarakat nusantara sejak zaman dahulu memiliki sistem kepecayaan yang dibangun berdasarkan hal-hal yang bersifat gaib. 

Istilah naga berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti ular, naga ataupun makhluk ular yang mendiami air atau dunia di bawah tanah. Di masa lalu, mitos tentang naga telah ada dalam kepercayaan masyarakat.

Misalnya, sebagaimana dikutip dari makalah Diah Meutia Harum, peristiwa alam semacam gerhana matahari jaman dahulu dianggap sebagai peristiwa gaib karena berkaitan dengan kekuasaan naga yang mampu menelan matahari. 

Penduduk lantas lari sembunyi dan laki-lakinya membunyikan kentungan untuk mengusir dan menakuti naga agar ia melepaskan matahari.

Di Lampung, cerita tentang naga tertuang dalam Legenda Kelekup Gangsa yaitu kisah tentang barang pusaka berupa kentungan ajaib yang dimasukkan ke dalam danau Ranau.

Agar tersembunyi dari pandangan orang yang kemudian berubah menjadi seekor naga emas ini menjadi pelindung masyarakat yang memiliki perilaku dan itikad baik, antara lain dengan menjaga keasrian danau. Sebaliknya, menjadi malapetaka bagi mereka yang tamak, angkuh, atau berperilaku tidak baik.

Di Buton ceritanya lain lagi. Naga telah menjadi simbol budaya. Dapat ditemukan pada atap rumah-rumah panggung tradisional dan gedung-gedung perkantoran. Biasanya naga akan bersanding dengan buah nanas. 

Bahkan patung naga telah menjadi ikon pariwisata di kota Bau-Bau. Kepala naga hijau dapat dijumpai di pantai Kamali, sedangkan ekor naganya berada di atas bukit yang berjarak sekitar 5 kilometer.

Ilustrasi patung kepala naga hijau di Bau-Bau, Buton (sumber : dok. pribadi)
Ilustrasi patung kepala naga hijau di Bau-Bau, Buton (sumber : dok. pribadi)

Sosok naga juga hadir dalam cerita rakyat Kutai Kartanegara yang disebut dengan nama Ular Lembu.Saking besarnya naga tersebut, dikisahkan bahwa kepalanya ada di kota Tenggarong dan ekornya sampai di kota Samarinda. 

Sebagai wujud kepercayaan masyarakat tersebut, maka diadakanlah ritual peluncuran Naga Erau di Sungai Mahakam yang disisipkan sebagai salah satu bagian dari rangkaian upacara adat Erau di Kota Tenggarong.

Boneka naga raksasa dalam rangkaian upacara adat Erau di Kutai Kartanegara (sumber : Kompas/Mohammad Hilmi Faiq)
Boneka naga raksasa dalam rangkaian upacara adat Erau di Kutai Kartanegara (sumber : Kompas/Mohammad Hilmi Faiq)

Bagi masyarakat Bali, naga Besukih merupakan sebuah makhluk mitos yang tinggal di bawah kawah gunung Agung dan berkaitan dengan mitos asal usul dan penciptaan. Ini adalah cerita rakyat yang melatari legenda terciptanya selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Sedangkan di Yogyakarta, sebagaimana dikutip dari situs resmi keraton Yogyakarta, Dua ular naga yang menjadi penanda berdirinya Keraton juga ada di Kemagangan, tepatnya di pintu gerbang, disebut sebagai Regol Kemagangan, menghubungkan plataran Kemagangan dengan plataran Kedhaton, kawasan tertinggi dalam kompleks Keraton.

Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal (Situs resmi Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat/kratonjogja.id)
Sengkalan Dwi Naga Rasa Tunggal (Situs resmi Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat/kratonjogja.id)

Dua ular naga itu disebut sebagai 'Dwi Naga Rasa Tunggal'. Ini adalah candrasengkala atau sengkalan, perwujudan penanda tahun peristiwa monumental. Patung itu dibaca sebagai 'Dwi Naga Rasa Tunggal' atau 'Dua Naga Bersatu Rasa', artinya adalah tahun 1682 Jawa atau 1756 Masehi, tahun mulai dihuninya Keraton Yogyakarta.

Jadi, membicarakan kisah tentang naga selalu saja menarik dengan segala mitos ataupun rangkaian sejarah yang menyertainya. 

Kisah tentang naga memang mendunia. Pun di nusantara, naga telah menjadi bagian dari budaya dengan cerita dan perwujudan khasnya.

Kitapun sudah sejak lama mendengar atau menonton kisah tentang kesaktian kapak Naga Geni 212 dan pedang Naga Puspa Saur Sepuh. 

Dan jika ingin lebih yakin bagaimana naga berkaitan dengan budaya nusantara, silakan berkunjung pada Museum Nasional. 

Anda akan melihat dengan takjub ragam hias arsitektur kuno maupun artefak nusantara yang ditemukan berbentuk naga seperti ular besar dengan mahkota di puncak kepalanya seperti gambar di bawah ini

Ilustrasi ragam arsitektur/artefak kuno naga (Sumber : Museum Nasional)
Ilustrasi ragam arsitektur/artefak kuno naga (Sumber : Museum Nasional)

Jadi mempertanyakan keberadaan patung naga di Bandara YIA sebenarnya sama saja mempertanyakan eksistensi cerita, legenda bahkan budaya kita sendiri. Naga Bonar pun akan berkata, "Apa kata dunia???" hehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun