Menurut kamus besar bahasa Indonesia, kata joki memiliki beberapa arti. Selain berarti sebagai penunggang pacuan kuda, kata joki juga memiliki arti orang yang mengerjakan ujian untuk orang lain dengan menyamar sebagai peserta ujian yang sebenarnya dan menerima imbalan uang.Â
Maka tak heran kita sering mendengar istilah joki pada momen tes masuk perguruan tinggi atau pada saat tes CPNS misalnya.
Namun baru-baru ini viral di media sosial tentang joki vaksin. Abdul Rahim pria yang berasal dari Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan mengaku beraksi sebagai joki vaksin.Â
Lalu apa saja yang dapat kita lihat sebagai kejadian fenomena dan pembelajaran untuk perbaikan di masa pandemi ini.
Pertama, Abdul Rahim mengaku sudah 3 bulan menjalankan aksinya sebagai joki vaksin. Tak tanggung-tanggung, dia mengaku sudah disuntik vaksin sebanyak 16 kali. 2 kali untuk dirinya sendiri dan 14 kali untuk orang lain. Wooww.. luar biasa sekali.
Kedua, pengakuan ini tentu masih harus dibuktikan oleh pihak terkait yaitu Dinas Kesehatan dan aparat terkait. Karena berdampak pada warga yang seharusnya mendapatkan suntikan vaksin yang pada akhirnya tidak memiliki efek imunitas dari vaksin.Â
Dampak lebih jauh tentu terhadap upaya memberikan perlindungan warga dari sebaran Covid-19 dan menghambat percepatan target pencapaian kekebalan kelompok (herd immunity)
Ketiga, modus yang dipakai dengan hanya membawa KTP pelanggannya setiap datang ke lokasi vaksinasi. Untuk jasa tersebut sang joki menerima bayaran antara 80 ribu-800 ribu.Â
Hal ini tentu menjadi pertanyaan besar bagaimana SOP pelaksanaan vaksin dijalankan pada tataran teknis lapangan.Â
Ini harus menjadi perhatian Pemda dan satgas di lapangan. Karena dari cerita Abdul, petugas tidak melakukan pengecekan secara detil kesesuaian data dan identitas warga yang datang untuk divaksin.
Keempat, efek yang ditimbulkan jika seseorang disuntik vaksin berkali-kali adalah akan memiliki titer antibodi yang tinggi. Namun untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, ada baiknya sang joki mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh pihak terkait.
Kelima, munculnya jasa joki vaksin disebabkan beberapa alasan, sebagai mana keterangan dari Abdul Rahim, antara lain warga yang takut untuk divaksin, warga yang memiliki penyakit tertentu, alasan keyakinan tertentu ataupun karena informasi hoax yang beredar.Â
Tentu ini menjadi PR bagi pemerintah dan satgas untuk memberikan informasi dan sosialisasi yang lebih masif dan kreatif.Â
Misalnya dengan menggandeng pemuka agama setempat, budayawan lokal, membentuk tim khusus sampai dilevel desa dan kecamatan serta menggunakan influencer lokal.
Selain itu, agar kejadian ini  tidak terulang kembali dan menjadi celah bagi orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan mengakali sistem, maka hendaknya satgas daerah dan pihak yang terkait dalam pelaksanaan vaksinasi melakukan monitoring dan evaluasi secara rutin.
Terutama pada prosedur vaksinasi dan dokumen terkait agar layanan vaksinasi betul-betul berjalan sesuai dengan SOP dan sasaran yang diharapkan.
Terlepas dari apakah pengakuan Abdul Rahim ini benar atau tidak. Informasi tentang joki vaksin ini sudah terlanjur menyedot perhatian dan menghebohkan warganet.Â
Dari informasi yang tersebar di berbagai media, fenomena joki vaksin ini memang baru ditemui di Kabupaten Pinrang. Namun tidak menutup kemungkinan kejadian serupa juga terjadi di tempat yang lain.Â
Hal ini tentu harus menjadi perhatian para pemangku kepentingan agar sasaran vaksinasi bisa terlaksana dengan tepat dan lancar.
Terlebih lagi varian Omicron mulai muncul dan menjadi kekhawatiran akan penyebaran dan dampaknya yang lebih lanjut.Â
Di sisi lain, ketersediaan vaksin di Indonesia saat ini sangat cukup untuk menangkal sebaran Covid-19. Maka tidak ada alasan terhambatnya penyuntikkan vaksin kepada warga yang belum terjangkau.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H