"Ada orang-orang yang memang dilahirkan ke muka bumi ini untuk termangu-mangu memikirkan hidup yang sulit. Sepanjang hari mereka membanting tulang, bersimbah keringat, terbirit-birit mencari nafkah, utang di mana-mana, masalah tak perai-perai, keperluan tak terlerai. Mereka adalah sepuluh sekawan itu" | Andrea Hirata
Sesungguhnya, 'Orang-Orang Biasa' menyisakan selubung pertanyaan filosofis. Tapi dibiarkannya kita terpingkal-pingkal dalam pusaran rencana perampokan yang tak masuk akal dari sepuluh berkawan.Â
Tingkah dan tutur mereka tak henti menyinggahkan gelak. Kita lalu menarik simpulan ini hanyalah kisah jenaka. Bertabur kalimat puitik dari orang-orang Melayu Belantik.
Lucu sekaligus tragis. Perampokan itu mulanya demi uang masuk Fakultas Kedokteran untuk Aini, anak kawan mereka yang miskin sekaligus pintar tiada bandingan. Terbuai kita terbawa aliran cerita heroik. Sebelum menyentuh titik terjauh, kita tidak sadar membalik halaman terakhir, sejumlah keanehan tetap tidak terjawab.
***
(Barangkali) seluruh tema buah karya Andrea Hirata yang bermula di Sungai Linggang, juga akan bermuara di situ. Di tanah kelahirannya, Belantik. Penulis mengaku tidak memiliki pilihan lebih baik dari kehidupan di kelokan Sungai Linggang.Â
Dengan mantap, ia akan terus menuliskan kisah mereka; orang-orang biasa dari tanah kelahirannya. Semenjak Laskar Pelangi hingga Sirkus Pohon, "belantara petualangan" Andrea tak lepas-lepas dari Belantik.
Sepertinya Sungai Linggang yang selalu dikisahkan dramatis itu, punya labirin kisah yang tidak habis-habis. Meminjam istilah penulis, semenjak dangdut masih bernama Irama Melajoe hingga sekarang, tempat itu begitu romantik.Â
Bukan karena orkes dangdut masih bertahan, tapi kota ini naif dengan perasaan utopis yang tidak kenal ampun. Nyaris tanpa kejahatan dan kekerasan. Setenang permukaannya. Barangkali seperti Pidi Baiq memperlakukan Bandung "bukan cuma masalah geografis"
"Belantik adalah kota ukuran sedang paling aman dan paling naif di seluruh dunia ini. Suatu kota di pinggir laut yang penduduknya telah lupa bagaimana cara berbuat jahat"
Kali ini berbeda. "Orang-Orang Biasa" menawarkan klimaks dan antiklimaks kenormalan hidup sehari-hari warga Belantik. Andrea menciptakan pusaran mematikan dalam ketenangan Sungai Linggang. Pemantik itu berupa sebuah tindak kejahatan. Ia menyelipkan proses distopia. Sebuah kejahatan (yang ditunggu-tunggu sekian lama) kota itu akhirnya tiba.
Dua penghuni tetap kantor polisi, Inspektur Abdul Rojali dan Sersan P. Arbi, terlonjak dan bersemangat. Keduanya akan melihat perubahan dalam papan statistik kejahatan yang rapi tertulis kapur. Bukan hanya satu, tapi tiga. Ada perampokan bersenjata, dan ada pula cyber crime. Semua dikisahkan.
Kesepuluh tokoh utama itu akan merampok bank. Kemiskinan yang berbalut ketidakbecusan para karakter yang diciptakannya, pembaca akan gemas berkali-kali. Rencana yang puluhan kali dirapatkan, namun tak kunjung beres.Â
Walhasil semakin kacau. Seluruh perencanaan itu dikisahkan secara jenaka dengan meninggalkan kesan acak, berantakan, dan tidak terarah.
Bersepuluh Mereka Berkawan
Mereka bersepuluh. Debut, Handai, Tohirin, Honorun, Sobri, Rusip, Salud, Nihe, Dinah, dan Junilah. Bukan main banyaknya karakter yang harus tercipta dan terimajinasikan. Satu atau dua pun penulis mungkin sudah limbung. Tapi ini sepuluh. Kedua belah tangan harus diangkat sebelum habis dihitung. Pembaca mungkin akan salah mengira atau paling tidak bertukar karakter.
Rusip memimpin usaha klining servis. Nasib usahanya tunduk pada pekerjaan sisa-sisa. Kompetitornya yang lebih besar dan berkualitas menerima semua order bersih-bersih yang lebih layak. Nihe dan Junilah bertindak sebagai teman sekaligus karyawan selalu gagal ia pecat atas nama pertemanan.
Handai, dinamai begitu karena suka berandai-andai, paling suka memotivasi orang, walau tak kunjung dapat panggilan. Honorun, namanya seperti doa ibu, berakhir sebagai guru honorer mata pelajaran Olahraga.
Sobri menyopiri mobil tangki septik, sementara Salud, berakhir sebagai tukang gali sumur dan kuburan. Tohirin bekerja mengangkat apapun yang bisa diangkat di pelabuhan: kuli panggul.Â
Debut yang sok idealis cuma bisa menjadi pemilik toko buku yang tidak laku-laku. Sudah habis masanya orang ke toko buku. Penghuni bantaran Sungai Linggang kini lebih senang membaca lewat hape. Semakian ia memaksa jadi ideal, semakin melarat pula hidupnya.
Satu kesamaan yang mengumpulkan mereka. Penghuni bangku paling belakang di kelas semenjak kelas satu SMA. Bersepuluh mereka membentuk perkumpulan dengan kecenderung yang aneh: malas, IQ pandai, pesimistis, dan selalu gagal dalam pelajaran.Â
Terutama nilai matematika mereka semua bak tentara tiarap, terutama Dinah. Ia bukan tokoh sentral. Meski demikian, lantaran pusaran kerumitan hidup yang Dinah alami, sepuluh berkawan sejak kecil itu kembali berkumpul.
Setelah ditinggal mati suami, ia mencukupi segala-galanya dengan menjual mainan anak-anak. Saban hari pula terus main kejar-kejaran dengan pamong praja. Jualan, diusir, dikejar, pindah, jualan, diusir, dikejar, dan jualan lagi begitu berulang-ulang. Pulang tidur di kosan yang sempit, ia dan anaknya, harus berbagi tempat tidur dengan semua mainan itu.
Dalam sejarah, hal-hal istimewa sering muncul dari kondisi chaos, kacau balau. Aini, anak sebiji yang Dinah miliki muncul dengan potensi yang tidak disangka-sangka. Tabah sekali ia belajar tanpa kenal waktu. Dipendamnya kuat-kuat keinginan menjadi dokter.Tedorong ayahnya yang dulu ia rawat hingga meninggal tanpa tahu mesti berbuat apa.
Dinah kaget bukan kepalang, Aini akhirnya lulus Fakultas Kedokteran. Berbanding terbalik dengan ibunya dulu yang tiap hari kena setrap. Kemudian, seperti kita ketahui bersama, lakon nyata dalam kehidupan kaum miskin papa, tidak pernah ada uang untuk membayar harganya. Meski hanya uang pendaftaran ulang.
Dinah dilingkupi lingkaran syaiton yang biasa menjerat orang-orang miskin negeri ini. Ia tidak punya aset (barang/uang) untuk menjangkau akses (pendidikan). Sebaliknya juga tidak punya akses menuju aset.Â
Masalah keuangan yang tidak terurai sampai anak-anak mereka beranak pinak. Dinah sudah pasrah tidak mewariskan apapun pada Aini selain rupa-rupa mainan untuk dijajakan berkeliling. Kemiskinan menjelma dalam bentuk begitu rupa dan beragam. Melilit dari segala arah.
Cerita-cerita orang biasa itu, sesungguhnya dimulai dari sini. Mereka akan merampok bank yang akan dipakai mendaftarkan Aini di Fakultas Kedokteran.
Bersepuluh pun Mereka Gagal
Minus sehari menuju hari H, sepuluh berkawan masih gamang merampok bank. Keyakinan mereka masuk kantor polisi lebih hebat dibanding keberhasilan merampok. Seperti martir, mereka sudah melakukan agenda terakhir laiknya yang jamak dilakukan terpidana sebelum dihadapkan ke regu tembak: menulis wasiat.
Berhasilkah mereka merampok bank? Apakah mereka benar-benar tertangkap? Apakah Aini berhasil kuliah di Kedokteran? Banyak yang perlu sekaligus tidak begitu perlu dicari tahu. Berhasil atau tidak, itu perkara lain.
Selepas peristiwa nan menggemparkan seisi kota masing-masing kembali melanjutkan hidup dengan bahagia. Berkat peristiwa itu, mereka akhirnya tahu cara menari-nari dalam kegetiran dan kesusahan hidup. Dengan tidak menggadaikan apa yang penting dalam hidup mereka: kejujuran. Seperti gambaran penulis sendiri:
(Orang asli Belantik) itu jika ada masalah, mereka cenderung menyelesaikannya secara kekeluargaan. Mereka bukan orang-orang yang kasar. Mereka berjiwa humor, tak suka melanggar hukum dan respek pada otoritas. Jika mereka miskin, mereka bersahaja; jika mereka kaya, mereka tidak rakus..."
Meski begitu bahagia dan lapang, mereka tetap saja miskin. Tapi mereka sudah bersumpah sejak awal sudah bersumpah menjual apa saja yang mereka miliki, asal Aini bisa kuliah. Semua kode, teka-teki, dan misteri, tetap tak terpecahkan bagi sekumpulan manusia dengan IQ tak maju-maju itu.
Rutinitas kembali menyeruak di segala penjuru Sungai Linggang. Semakin lama, orang-orang lupa dengan peristiwa itu. Semua menuju situasi sedia kala. Belantik kembali ke arahnya semula, negeri utopia.
Cerita-Cerita Lain
Semakin jauh kita membalik halamannya, sadarlah sidang pembaca nanti. Orang-Orang Biasa (OOB) sesungguhnya menyajikan potret bopeng integritas yang melanda negeri ini.
Potongan kisah selain sepuluh berkawan itu juga sama uniknya. Kisah Guru Akhiruddin, Dua Boron, Trio Bastardin, dan tentu saja Inspektur Abdul Rojali.
Harta Inspektur sekadar motor bebek yang harus diengkol minimal sebelas kali sebelum gas nya bisa di-geber. Tapi ia lebih lurus dari tali unting-unting tukang bangunan. Kapok para penyuap yang berulang kali membujuknya dengan rupiah. Meski ia butuh demi gadis remaja mungilnya berseragam putih-putih di sekolah perawat di kabupaten.
"Dunia ini rusak gara-gara banyak bawahan yang suka melapor pada atasan asal atasan senang saja, Sersan! Bawahan semacam itu adalah para penjilat! Kalau melaporkan apa pun pada saya, apa adanya, Sersan!
Duo Boron dan Trio Bastardin menonjolkan potret para pecundang culas yang merugikan negara dengan usaha-usaha ilegalnya. Menyuap sana sini demi kelancaran aksi. Mengamankan bisnis segala cara demi kepentingan korporasi. Tak habis-habis ia menggenjet masyarakat kecil di pasar dan di pelabuhan. Mereka memonopoli tanpa ada yang saingi.
"Trio Bastardin kini semakin berbahaya karena membentuk tiga serangkai persekongkolan pengusaha, politisi, dan birokrat. Itulah segitiga emas kejahatan. Jamin wakil rakyat, Tarib PNS, dan pada dasarnya ketiganya adalah maling!"
Guru Akhiruddin sebelum jadi guru PNS yang dibayar pemerintah tiap tanggal satu merupakan karakter muda yang idealis. Pada ujungnya harus menyerah dengan sistem pendidikan yang mengugkung kreativitas berkesenian. Mati perlahan jiwa sang guru, hilang pula karya-karyanya. Tiap hari datang mengajar lalu pulang, Membuat karya seadanya dan mengajar persis perintah kurikulum sekolah.
Seiring persiapan perampokan, Guru Akhiruddin akhirnya kembali menemukan jati dirinya yang hilang. Satu konspirasi detail terencana telah mengembalikan tekad dan hidupnya detik itu juga.
Gairah kehidupan kesenian timbul secara hebat. Semua adalah bagian dari rencana (yang namanya tidak boleh disebut). Selepas perampokan, ia seperti terlahir kembali. Siap membangkitkan semangat murid-muridnya lewat karya seni.
Ibu Atikah adalah kisah sendu dan teladan lain lagi. Terheran-heran ia menyaksikan bank yang ia pimpin dirampok siang bolong. Tak usah kita bocorkan cerita lengkapnya, bacalah sendiri. Bila ada kebohongan yang dibolehkan, ia telah melakukannya di tengah skandal perampokan itu.
Berselang-seling fragmen cerita itu meningkatkan intens keseriusan tindakan rampok. Meninggalkan tanya besar, apa sesungguhnya hubungan mereka dengan sepuluh perampok amatir?
Segala cerita akhirnya terkuak, meski awalnya berkelok dan seperti tidak beririsan satu dengan yang lain. Semua sambung menyambung, bermuara pada aksi heroik paling menawan dalam sejarah Belantik.
Sepuluh-puluh karakter berserta tindakannya, kita akui, sangat acak dan tidak masuk akal. Tapi kita lupa, selalu ada yang rasional dalam setiap tindakan irasional.
Mengapa penulis menciptakan kisah perampokan itu? Jawaban diserahkan ke sidang pembaca. Kalau Aku sendiri, demi memberi tempat pada keyakinan dan harapan. Ada yang tak pernah terjawab dalam upaya kita melihat dan mengamati tanda-tanda fisik. Kita menyebutnya: luput.
*judul berasal dari kutipan buku ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H