Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kedai Kopi, Urban, dan Petani

8 Desember 2018   10:46 Diperbarui: 8 Desember 2018   11:47 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kopi itu digiling, bukan digunting". Menengahi tumbuhnya kedai kopi di Indonesia, ramai seloroh tentang cara menikmati kopi, seduh manual atau instan? Sebagian berseloroh, terserah mau diapakan, yang penting ngopi. Di balik semua debat, sebenarnya terselip kampanye bagi kaum urban. Tentang mengenal citarasa kopi lokal dan tentu saja, petaninya.

Pertumbuhan kedai kopi sejauh ini memang meningkat hingga dua kali lipat.  Minum kopi yang dimaksudkan adalah memanggang biji kopi, menggiling, lalu menyeduhnya secara manual. Pengaruh budaya pop ikut berkontribusi, seperti film maupun lagu yang berlabel independen. 

Sebelum itu, gerai kopi modern yang menyajikan kopi premium sudah lebih dulu merambah peluang usahanya di Indonesia. Resultannya menunjukkan dampak tren minum kopi yang meningkat.

Berdasarkan data yang dimiliki Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), konsumsi kopi domestik di negara kita lumayan tinggi. Angka itu juga setiap tahun. Di tahun 2010, kebutuhan kita akan kopi hanya 190 ton, 2016 melonjak menjadi 300 ton per tahun. Artinya, hari ini setiap keluarga rata-rata membutuhkan 1.1 hingga 1.5 kg kopi setiap tahun.  

Kedai kopi pun bermunculan. Beranjak dari pergumulan tersebut, ada kesadaran tertentu yang lahir di sebagian kalangan kaum urban tentang menyeruput kopi. Kopi itu ternyata memiliki rasa yang beragam, tidak melulu hanya pahit. Selain itu, kopi itu harus digiling atau diracik.

Tidak bisa dibantah, terbangunnya ruang ngopi itu dilandasi semangat bisnis dengan membaca peluang yang ada. Ruang yang tercipta ini memang ruang komersial. Pengunjung datang dan membayar harga setelah minum kopi. 

Pemilik kedai yang punya relasi baik dengan petani kopi tidak hanya menawarkan kopi racik, tapi juga melayani pembeli dalam bentuk biji yang sudah disangrai atau digongseng (roasted been) maupun dalam bentuk biji hijau (green bean).

Di samping mencari profit, kedai kopi memiliki ruang kampanye. Ruang-ruang itu terbuka lebar bagi setiap pengunjung dan pencinta kopi. Pada umumnya kedai kopi menjual beragam jenis kopi lokal dalam kemasan menarik. 

Beberapa kedai memiliki roasted been siap seduh dari  komoditi kopi daratan Amerika Selatan, produsen kopi terbesar di dunia. Setiap varietas kopi punya cerita sendiri-sendiri. Kedai kopi setidaknya bermain dalam dua ruang, komersial dan kampanye bagi publik.

Kesadaran tentang petani kopi ini menjadi cerita sendiri. FairTrade Foundation menyebutkan ada 125 juga orang di seluruh dunia yang bergantung pada kopi. Sekitar 25 juta pertanian skala kecil memproduksi 80 persen dari produksi kopi dunia saat ini. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun