I am Sarahza. Bayangkan lika-liku seorang istri selama 11 tahun menunggu kehadiran jabang bayi bersemayam kokoh di rahimnya. Bayangkan keikhlasan suami setia menemani setiap perjuangan dan kegundahan istrinya. Bayangkan sepasang tua, kakek dan nenek, yang tanpa diketahui selalu menyebut nama mereka berdua dalam doa panjang selepas sujud bersimpuh di malam buta.
Bayangkan Sarahza --sang anak yang dinantikan- dengan fitrah penuh di Lauhul Mahfudz. Dari alam langit ia menyaksikan seluruh keping kesabaran mereka semua. Dikumpulkan perlahan demi perlahan. Sehingga Allah pun Ridha dan akhirnya membebaskan Sarahza ke alam rahim, lalu ke alam dunia yang fana.
Beginilah buku ini bekerja. Memberi tahu kita bagaimana Hanum telah mengusahakan setiap kemungkinan memiliki buah hati. Mengetengahkan peran seorang laki-laki yang dengan garang sekokoh karang menguatkan rumah tangganya. Memberi nasihat pada pembaca bagaimana sang kakek, Amien Rais tetap jadi ayah penuh cinta bagi Hanum. Menjadi orang tua, adalah perjalanan tanpa ujung.
Prasangka Baik kepada Allah
I am Sarahza. Buku ini bukan cara sukses jengkal demi jengkal inseminasi, bayi tabung maupun tumpukan terapi untuk calon Ibu yang hingga belum dikaruniai anak. Harganya begitu mahal. Sebaliknya, ini kisah gagal dan jatuh berulang-ulang dengan proses itu semua. Program bayi tabung 6 kali, diselingi 5 kali inseminasi, terapi-terapi tanpa henti, doa yang tidak tertepi, hingga datang masa depresi dan trauma berkali-kali.
Ketika membaca bagian ini, bagi saya, inilah saat momen keimanan sering kali diuji. Momen Allah 'menampar' Hanum, saya, dan kita semua yang mungkin pernah berprasangka buruk sama Allah. Mencoba menjagokan semua usaha kemanusiaan kita di atas keikhlasan dan tawakkal.
Allah membuktikannya itu dengan "mengejek" kecanggihan ilmu pengetahuan tersebut dari langit. Perangkat paling canggih ternyata tidak bisa mengguncang Arsy-Nya. Alat-alat canggih tidak berarti apa-apa ketika berhadap-hadapan Iradah-Nya.
Manusia tidak pernah berhasil menguak proses penciptaan manusia lebih jauh dari menyatukan sel sperma dan sel telur. "Wanafakhtu fiihi min ruuhi", "dan telah meniupkan ke dalamnya Ruh-ku" (Al-Hijr ayat 29). Tahun demi tahun terlewati, tapi keputusan Allah belum berkehendak memberi Ruh ciptaan Nya. Semua usaha Hanum di bumi akhirnya terhempas kembali ke bumi, pada tanah yang bersifat paling hina. Doanya belum terkabul.
Hanum lupa, bahwa sekeras-kerasnya mereka berusaha, ada Dzat Yang Maha Menghidupkan. Ternyata Allah belum berkehendak meniupkan Ruh. Kata Allah mungkin begini, "hambaku, belum saatnya." Masih banyak ujian yang harus kalian lewati sebelum Allah menitipkan anugerah-Nya.
Lalu datang satu momen di mana Hanum merasa batasnya sudah habis. Ia hanya fokus memberi kepasrahan paling tingginya pada Dzat Pemberi Hidup. Lewat orang tuanya sendiri, Ibunya memberi tahu ia sebenarnya melewatkan sesuatu yang harganya jauh lebih mahal dibanding semua program anak rekaan ilmu pengetahuan: IKHLAS. Ternyata, selama ini Hanum luput menghadirkan hati pada pilihan menjadi seorang Ibu.
Ikhlas memang bukan kunci Hanum memiliki anak. Tapi dengan itu, hatinya seperti seluas samudera. Rintihannya terdengar penduduk langit. Doanya dihantarkan malaikat yang suci. Usahanya yang justru sepertinya kecil mampu menggetarkan langit.
I am Sarahza, lewat makna dari judul buku ini, Hanum menggambarkan dirinya sendiri. Dialah pejuang tangguh itu sejak awal. Tetap berjuang penuh keteguhan hati meski programnya terjungkal berkali-kali. Juga suami, orang tua, mertua, dan seluruh keluarga yang sedang diuji dengan problem serupa. Buku ini untuk seluruh manusia yang mengusahakan agar Allah berkenan memberikan titipan-Nya.
Tunjukkan Bakti pada Orang Tua
Dulu ketika Hanum tenggelam dengan cita-citanya, ia merasa bisa menggapai semuanya dengan rencananya yang telah ia susun sebaik mungkin. Setelah menjadi reporter dan news anchor di stasiun media besar, ia masih memendam sesuatu yang lebih besar. Hanum dengan segala impian di kepalanya bahkan rela tidak ikut suami selama beberapa waktu. Meninggalkan sang penopang keluarga sendiri bersekolah di Wina, Austria.
Terang hal ini membuat kedua orang tuanya gusar. Prinsip-prinsip dalam agama dan kesederhanaan hidup ia sampaikan pelan ke Hanum.
"Bumi Allah itu luas, berkarya bisa di mana saja. Jadi perempuan pembahagia suami itu lebih konkrit daripada apa pun yang kamu kejar selama ini."
Ibunya juga menimpali,
"Mungkin kamu nggak akan percaya, tapi kalau kamu ikhlas menjalaninya, Tuhan akan mengganjar kami dengan karunia yang lebih besar dari yang kamu genggam sekarang."
Ia akhirnya menyusul sang suami demi menejumput kerelaan dan Ridha orang tua. Meski begitu Hanum menghabiskan tahun yang terus berganti tanpa kehadiran buah hati. Usaha dipancangkan terus, tapi Allah selalu berkehendak lain.
Atas dorongan suaminya, Rangga, ia mulai trauma healing dengan menulis buku. Bakatnya mencuri perhatian dan jadi inspirasi di negeri sendiri. Karyanya diangkat ke layar lebar. Untung diraih, tapi malang tak kuasa ditolak. Di balik kesuksesannya, Hanum menyimpan luka menganga. Hanum pernah berandai-andai, mencoba hitung-hitungan dengan Allah, jika saja bisa ditukar, ia ingin semua rezeki dan bonusnya diganti saja dengan satu bentuk kehidupan lain di tubuhnya: anak.
Tidak di Eropa, tidak juga di Indonesia. Setiap program anak yang Hanum jalani hanya menyisakan perih dan merobohkan keberaniannya untuk selalu bangkit tiap kali terjatuh. Tidak satupun yang berhasil.
Satu cerita dalam buku ini bikin saya terenyuh. Pak Amien Rais bernazar jika putrinya hamil, ia akan berjalan kaki sepanjang Solo ke Jogja. Nazarnya dirampungkan hari itu juga meski ia sedang berpuasa Daud. Sesampainya di Jogja, ia  menemukan kenyataan bahwa kehamilan putrinya hanya segumpal darah tanpa Ruh. Hati Hanum luruh seketika melihat besarnya cinta seorang ayah.
Ayah Hanum, sangat mengerti bagaimana perasaan anaknya. Apa yang terjadi pada saat itu sebenarnya juga terjadi pada Ibu Hanum. Kakak pertama Hanum lahir juga 11 tahun setelah pernikahan. Cahaya semangat menjalani waktu-waktu terberat sebenarnya datang dari kedua orang tuanya. Kekuatan batin Hanum berkat nasehat keduanya. Buku ini diselingi mutiara yang berserak. Benda berharga itu berupa pesan seorang Ayah pada putrinya.
Pada akhirnya, Hanum berhasil mengatasi depresinya. Orang-orang di sekelilingnya, suaminya, mertua, serta ayah-ibunya bertindak sebagai support system. Menyuntikkan semangat tanpa putus. Hanum lantas kembali menegakkan tahajud, mendekap kembali Qur'an setelah sekian lama tersampir di rak paling jauh.
Perbanyak Sedekah
Pelajaran lainnya adalah sedekah. "Num, sebagaimana dzikir, sedekah itu melegakan hati. Bonusnya, membersihkan harta plus pikiran dan kecemasan." pesan ayah Hanum.
Surah Al-Mujadilah ayat 11, Allah menyeru, "Berlapang-lapanglah dalam majelis, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu."
Saya pernah mendengar kajian, bahwa kata "majelis" dalam ayat ini juga  bermakna sangat umum. Bila kita melapangkan urusan orang lain, Allah pasti akan mengagetkannya juga dengan memberikan rezeki yang arahnya tidak kita sangka-sangka. Kita tidak tahu pada sedekah ke sekian berapa yang menyimpan keberkahan dan diganjar Allah dengan berlipat-lipat.
Sedekah itu benar-benar melapangkan dadanya. Hanum melakukannya bersama suami pada sepasang kakek-nenek yang mereka temui di Kaliurang yang ternyata tulus mendoakan Hanum setelahnya. Faktanya sepasang tua itu terhimpit kesulitan makan sehari-hari. Meski begitu uang sedekah yang Hanum berikan tetap dibagi setengahnya pada Mushalla di tempat tinggal mereka. Hanum seakan bertemu dengan pertanda. Doanya kali ini akan terbantu oleh kedua insan yang telah senja ini.
Mereka berdua menyisipkan sedekah dan waktunya secara rutin pada anak-anak panti asuhan. Memberikan anak-anak itu secercah kebahagiaan yang membuat mereka kaget dan berbinar.
Latih Keikhlasan Terus Menerus.
Allah sudah menetapkan manusia hidup berpasangan satu sama lain. Saling membutuhkan secara erat. Membentuk keluarga yang siap melahirkan pelanjut pemimpin di muka bumi (khalifatu fil ardh'). Allah tidak menyuruh umat Nya mencari uang sebanyak-banyaknya. Menguras tenaga dan menghabiskan waktu demi tujuan yang jauh dari fitrah yang menanggalkan Ridha Nya. Allah hanya ingin manusia memenuhi fitrahnya: hidup mulia dengan meyembah penuh Allah.
Pelajaran lain dari I am Sarahza yang bikin nyesss ialah semua usaha Hanum pada gilirannya meninggalkan rasa sakit tak terperi. Hadirnya dukungan deras dari seluruh keluarga menjadikan Hanum dan Rangga akhinya kembali menemukan jalan pulang kembali kepada fitrahnya. Pada jalan yang Allah Ridhai. Keikhlasan menjaga fitrah inilah yang Allah ganjar dengan Sarahza Reashira. Nama yang bermakna "perempuan cantik nan kokoh yang menjadi angin pembawa berita gembira"
"Serasa cita-cita terbesarku sekarang bukanlah jadi dokter gigi, presenter TV, penulis, pembuat film, bahkan untuk menjadi ibu pun aku serahkan semua pada Tuhan. Kalau boleh, aku hanya meminta satu hal saja, tak lebih. Aku ingin jadi istri yang husnul khatimah" | Hanum
"Aku ikhlas dengan seluruh ujian yang Engkau berikan kepada kami. Pintaku satu tak pernah berubah, jadikan kesetiaanku sebagai teman sejati kami sampai ajal memisahkan kami" | Rangga
11 tahun berlalu telah melahirkan Sarahza. Melahirkan Hanum dan Rangga yang baru. Menelurkan satu keluarga yang berusaha ikhlas menjalani hidup sesuai fitrah. Menjadi satu keluarga yang lebih dekat pada Allah, Maha Pengatur segala kehidupan, di langit dan di bumi. Lebih dari itu, buku ini telah menunggu hampir 12 tahun untuk Anda pegang, bacalah.
"Kesabaran tak melulu menunggu, namun kemampun mengisinya dengan keberkahan" Hanum Salsabiela Rais
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H