Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Keluarga (Harus) Giat Terlibat Pendidikan Anak

13 Agustus 2018   13:13 Diperbarui: 13 Agustus 2018   13:35 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menemani Anak di Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (dok.Lazuardi Athaillah)

"It takes a village to raise a child"

Dalam masyarakat dengan spirit kolektivitas tinggi, peribahasa itu lahir di Afrika. Membesarkan seorang anak membutuhkan bahkan lebih sebatas kedua orang tua kandung. Konon seorang anak di Afrika, tidak peduli siapa wali biologisnya, secara kebiasaan ia boleh diasuh atau bahkan dihukum sekalipun oleh orang tua lain. Masyarakat punya andil dalam pembentukan karakter anak.

Sementara itu di garis khatulistiwa, hal yang terjadi cenderung sebaliknya. Hari-hari belakangan ini, di rumah-rumah bahkan di lingkungan tempat tinggal, kita menyaksikan anak-anak mulai diasuh oleh gawai beinternet, bukan orang tua.  Aplikasi sosial media, tayangan daring hingga gim daring turut memarakkan dan mewarnai keseharian anak.

Kealpaan orang tua maupun keluarga tidak membersamai anak dalam proses pendidikan di rumah itu sendiri sudah merupakan celah dalam perkembangan anak. Apalagi jika proses tersebut digantikan sesuatu yang belum waktunya dan cenderung berlebihan: teknologi. Ketika tiba-tiba datang situasi tak disangka-sangka, sampai kapanpun teknologi tidak mampu mengajarkan sikap mental yang seharusnya dimiliki. Teknologi memang menempa akal, tapi tidak akan pernah menyentuh mental.

Padahal keluarga sejatinya memiliki peran paling penting dalam pendidikan. Terlebih bagi kedua orang tua sang anak. Bekal orang tua ibarat pondasi bagi bangunan di atasnya. Seorang anak akan sulit menciptakan bangunan kokoh di atasnya bila penyangganya rapuh. Sekuat apapun, pasti akan roboh juga.

Namun, ide melibatkan orang tua dalam pendidikan tidak begitu mudah dieksekusi. Terutama bila pola yang terbentuk selama ini kerapkali pasif, "wait and see". Menunggu komentar para guru tentang perkembangan anak-anak mereka di sekolah. Hasilnya nanti ketika anak-anak menghadapi masalah, barulah orang tua ikut urun tangan.

Keterlibatan Sejak Pra-Sekolah 

Menilik Journal of School Psychology (2010) menyebutkan peran kedua orang tua sangat penting bahkan mulai usia pra-sekolah. Aktivitas tersebut sangat berpengaruh pada kesiapan sekolah mereka (school readiness), dapat mengurangi problem perilaku bermasalah pada anak, meningkatkan kemampuan sosial, dan pada akhirnya meningkatkan prestasi akademik.

Pada diri orang tua terdapat tiga modal besar dalam membimbing dan mengarahkan sang anak. Najeela Shihab, pendiri Sekolah Cikal mengatakan bahwa ketiga modal tersebut adalah modal cinta, modal peduli, dan modal kasih sayang. Dalam diri keluarga, ketiga unsur itu bermuara. Teknologi tidak bisa menggantikan pesan orang tua. Dalam interaksi tersebut, ada kontak mata dan batin yang berkesan dan diingat anak seumur hidupnya.

Anak-anak hari ini dihadapkan kenyataan menghadapi dunia di mana kecerdasan buatan (artificial intelligence) diramalkan memenuhi ruang-ruang privasi di rumah. Maka keterlibatan keluarga menjadi sebuah interupsi berjangka panjang, dari sejak pra-sekolah hingga anak-anak siap melaju dengan sayap sendiri. Tidak hanya memikirkan saat ini melainkan menyiapkan anak dengan bekal yang membuat mereka mampu bergulat dengan kehidupan, 20 hingga 30 tahun ke depan.

Kolaborasi dalam keterlibatan orang tua yang direncakan tentu bukan sesempit membantu anak belajar persiapan ujian matematika esok hari. Justru pendidikan dalam keluarga harus mampu menyajikan aktivitas yang memberi anak-anak pengetahuan, bekals prinsip, sekaligus kecakapan hidup. Sesuatu yang tidak bakal lekang dimakan usia.

Dalam British Education Research Journal (2015), Gillian Hampden-Thompson dari Universitas Sussex berhasil menunjukkan bahwa kunci kesuksesan pendidikan anak sangat bergantung pada family stability, bukan family structure. Artinya apa? Penelitian tersebut menjelaskan temuan utama bahwa bukan masalah anak diasuh orang tua tunggal (single parent) ataupun orang tua lengkap. Faktor kuncinya  ada pada kepedulian dan determinasi orang tua memberi support anak yang berpengaruh besar terhadap pencapaian kualitas pendidikan anak.

Riset tersebut mengamati situasi keluarga dari 10.000 pelajar sekolah di Inggris selama kurun empat tahun. Dari 13 persen subjek penelitian yang mengalami masalah keluarga, kurang dari 63 persen yang tetap bersekolah hingga umur 16 tahun. Sementara itu sisanya, anak-anak dengan tingkat situasi keluarga yang stabil, 81 persen sisanya bersekolah hingga akhir dengan motivasi yang tinggi. Ketidakstabilan situasi keluarga di satu pihak sangat mempengaruhi pilihan dan persepsi anak, apakah akan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau terpaksa berhenti karena kondisi keluarga yang tidak stabil.

Manfaat Orang Tua untuk Pendidikan Anak1
Manfaat Orang Tua untuk Pendidikan Anak1
Kualitas Relasi Sekolah -- Orang Tua

Keluarga idealnya partner utama pendidikan. Keterkaitan peran orang tua dan masyarakat dengan kemajuan anak sangatlah erat. Riset mengenai keterlibatan keluarga selama lebih 5 dasawarsa tertuju pada benang merah yang sama. Keluarga berfungsi menyokong pembelajaran, memberi motivasi, mendorong determinasi, hingga menjadi model belajar sepanjang hayat bagi anak.

Masalahnya saat ini adalah tidak setiap orang tua menyadari bahwa setelah melewati pagar sekolah, pendidikan anak harus berlanjut di rumah. Bilapun ada, keterlibatan orang tua seringkali berjalan sendiri-sendiri oleh orang tua murid yang peduli pendidikan. Tidak setiap keluarga meluangkan kemewahan waktu yang mereka miliki demi anak. Semisal menanyakan perihal kegiatan sekolah, menenami anak belajar atau mengerjakan PR, maupun mewajibkan buah hati membaca satu jam sehari. Itu hal yang benar-benar sulit jika kedua orang tua tidak memiliki "stability" seperti yang disebutkan.

Problem lain ialah orang tua terkadang memaknai peran mereka sebagai "pengatur" bukan "peneman" yang baik bagi anak. Alih-alih memberi motivasi dan mendengarkan aspirasi mereka secara langsung, ketika di rumah atau saat mengantar mereka ke tempat les, orang tua membebankan anak dengan ekspektasi pribadi lewat penerapan aturan kedisiplinan ketat. Saat fenomena ini berlangsung, ketika itu pula keterlibatan orang tua menjadi timpang dan parsial.

Pada titik inilah, komunikasi antar orang tua dengan sekolah penting terjalin. Dalam kata lain, kualitas relasi antar sekolah dan orang tua atau masyarakat perlu peningkatan. Idealnya pendidikan keluarga -dalam hal ini praktik pengajaran- di rumah oleh orang tua, bisa terprogram dengan baik dan tidak satu sisi melihat kondisi anak.

Kepala Sekolah atau pihak manajemen punya pekerjaan rumah untuk mendorong keluarga agar selalu berbagi informasi penting terkait anak didik, begitu juga sebaliknya. Hal ini akan memunculkan sejumlah potensi strategi baik yang bisa dilakukan demi menyokong anak selama masa pendidikan, apakah itu di rumah maupun di sekolah. Pendidikan keluarga yang berpijak pada komunikasi intensif dengan sekolah akan mensinergikan banyak hal. Kemudian akhirnya relasi timbal balik tersebut menghasilkan simpul kuat dalam proses perkembangan anak.

Praktik Cerdas Pelibatan Keluarga

Sekali lagi, ide melibatkan orang tua dalam proses pendidikan tidak begitu mudah dalam praktiknya. Kebingungan ini muncul karena sebagian masyarakat belum tahu bagaimana metode yang tepat. Termasuk bagaimana model tersebut dijalankan dalam kegiatan pembelajaran sehari-hari. Strategi terbaik tetap harus selalu dipikirkan mengingat keragaman yang begitu tinggi di Indonesia.

Saat ini, Mendikbud telah mengeluarkan Permendikbud Nomor 30 tahun 2017 tentang Pelibatan Keluarga dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Selain itu, implementasi Perpres 87 tentang Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) menjadi praktik baik dari pemerintah dalam hal pendidikan keluarga. Meski baru disahkan September 2017, hasil monitoring dan evaluasi Kemdikbud menilai dual-relationship sekolah dan orang tua-masyarakat sudah mulai terlihat, utamanya dalam penumbuhan karakter tertentu, gotong royong misalnya. Hal ini kuat dikarenakan prinsip kerja sama akan selalu hadir dalam membentuk ekosistem pendidikan yang diimpikan sekolah masing-masing.

Hal yang dilakukan SMA Negeri 15 Semarang menjadi contoh project nyata hasil rembukan dan kerja banyak pihak. Orang tua dapat mengajar di kelas melalui Program "Orang Tua Mengajar". Tidak hanya sekolah negeri, tapi juga di sekolah swasta. Sekolah Islam Lazuardi Athaillah GIS di Makassar merupakan contoh lain. Pihak sekolah mulai serius menggarap pertemuan rutin semester Class Conference sebagai starting point pendidikan keluarga. Seluruh orang tua dan guru tergabung dalam kelompok-kelompok PTA (Parents Teachers Assosiaction). Salah satu hasilnya, beberapa keluarga murid yang bergelut di bidang UKM (Usaha Kecil Menengah) telah setuju memasarkan produk siswa hasil ekskul kewirausahaan. Tujuannya ikut mengajarkan anak-anak berwirausaha sejak dini.

Perpres ini sejatinya memang memberikan kebebasan pada sekolah mendesain budaya sekolah sesuai dengan kapasitas dan mengikuti kearifan lokal masing-masing. Pada gilirannya, sekolah mengikutkan orang tua, komite sekolah, serta pemangku kepentingan untuk menumbuhkan dan memperkuat karakter siswa melalui kegiatan ekstrakurikuler, intrakurikuler, dan kokurikuler.

Berdasarkan catatan monev, kemunculan praktik cerdas selama PPK di sejumlah tempat menunjukkan bahwa "pendidikan keluarga" sudah jadi perhatian dan mulai dilihat sebagai "masalah bersama". Beberapa diantaranya ialah terbentuknya paguyuban orang tua per kelas; pelibatan warga sekolah dalam setiap kegiatan; komitmen membawa bekal sehat dari rumah. Mungkin sederhana, tapi sebagaimana layaknya ide baik, praktik ini merupakan tonggal awal sekaligus paling penting yang diharapkan akan terus bergulir dan membesar.

Dr. Joyce Epstein dari Johns Hopkins University menawarkan skema aktivitas pendidikan keluarga dan pelibatan masyarakat dalam pendidikan, diantaranya komunikasi, komunitas, kerelawanan, dan kolaborasi. Bila dirangkai, jadinya begini: komunikasi membentuk komunitas yang melahirkan kerelawanan positif sehingga mengundang banyak pihak yang memiliki tujuan dan visi yang sama untuk berkolaborasi mewujudkan: kemajuan pendidikan.

Berangkat dari keputusan orang tua yang menitipkan anaknya di sekolah, tiap orang tua setidaknya memiliki kepercayaan dan harapan yang sama bagi anak-anaknya. Bermodalkan itu, keterlibatan dengan demikian sangat mungkin untuk dimulai. Konsistensi ini akan berjalan jika seiring waktu tercipta skema relasi antara sekolah dan orang tua atau masyarakat.

Keterlibatan keluarga sejujurnya tidak hanya tentang mencari-cari aktivitas yang harus dilakukan anak ketika sampai di rumah. Itu sekedar satu sisi. Pergulatan panjangnya ialah menemukan strategi tepat yang memicu peningkatan kualitas hubungan orang tua-anak, menaikkan derajat keterlibatan masyarakat terhadap pendidikan, dan menciptakan ekosistem pendidikan kondusif bagi anak.

Setiap orang tua punya pekerjaan rumah agar anak bisa kuat dalam hubungan sosial, emosi, sikap, dan tentu saja prestasi akademik. Dengan demikian, arah pendidikan keluarga lebih pada aspek menguatkan komunitas dan kolaborasi. Tidak lain tidak bukan, pendidikan keluarga tidak bisa bekerja di rumah masing-masing, kuncinya pada inisiatif dan kerja bareng. Generasi handal tidak lahir dengan berpangku tangan, bukan?

#sahabatkeluarga

Bahan bacaan:

  1. JENDELA Pendidikan dan Kebudayaan (2017). Edisi XVIII/Desember. Penguatan Pendidikan Karakter. 
  2. SEDL (2013). Partners in Education. A Dual Capacity-Building for Family-School Partnerships. 
  3. British Educational Research Journal (2015). Family structure instability and the educational persistence of young people in England. 
  4. Journal of School Psychology (2010). Parent--School Relationships And Children's Academic And Social Outcomes In Public School Pre-Kindergarten.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun