Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

[Resensi Buku] Kisah Penghabisan Dilan-Milea

6 Februari 2017   09:05 Diperbarui: 6 Februari 2017   18:29 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Satu alasan jelas –dan sungguh-sungguh- mengapa saya begitu ingin melanjutkan petualangan Dilan-Milea setelah dua edisi sebelumnya. Karena saya tahu, buku ini tidak akan dicecar dialog romantik dan tidak akan menyebar unsur-unsur melankolik yang tidak perlu. Untunglah, saya benar.

Buku “Suara Dari Dilan” ini tidak dibawakan seperti kisah cinta lain yang banyak bertebaran dalam berbagai publikasi fiksi percintaan remaja. Buku ini unik sendiri. Tidak disajikan dalam karakter remaja labil dengan emosi meluap-luap. Tapi, kisah ini, diceritakan, ketika Dilan-Milea sudah mencapai usia dewasa dan telah menemukan pasangannya masing-masing (wah, bocor soal).

Meski ada kesan tragis dan klimaks, tapi tidak dimaksudkan mencuri menggaet perhatian. Jika ingin menemukan keseruannya, ada di sepanjang halaman buku ini. Pengarangnya, Pidi Baiq, juga tidak semena-mena dan sporadis mengetengahkan konflik. Bahkan dihindari. Jika ada, hal itu harus jadi bumbu yang musti tuntas terjawab, dan sekaligus memberi pelajaran bagi pembaca Dilan-Milea.

Kesan percintaan sepasang remaja ditontonkan dalam balutan sikap dewasa masing-masing pihak untuk tetap saling menghormati. Saling merindukan, sebagai seorang yang sama-sama menginginkan kebahagiaan bagi masing-masing mereka.

Buku ini sangat ringan. Dalam arti sebenarnya. Seperti membaca satu judul komik berseri. Memantik kita untuk membaca lebih banyak lagi membaca. Berpindah dari satu buku ke buku yang lain. Bahasa tuturnya mengalir. Dialognya lancar dan sumpah! asli pendek-pendek. Seperti baca majalah cerita-cerita Bobo atau serial Enyd Blyton. Ringkas dan lengkap kalimatnya.

Jika buku kedua dibawakan dengan sudut pandang Milea Adnan Hussain (Milea), edisi ketiga ini disajikan melalui kacamata Dilan. Penulisnya cukup apik membawakan kisah ini dalam rangkaian yang saling menjalin.

Jadi, seperti mengenal dua isi kepala sekaligus. Beberapa kisah sebelumnya yang tidak jelas oleh Milea diterangkan ulang oleh Dilan. Tentu dengan pemaknaan dan konfirmasinya sendiri. Mengajarkan kita penting untuk saling menjaga komunikasi. Entah salah satu atua kedua orang yang ingin menjaga hubungan.

Misalnya, tentang teman-temannya Dilan di geng motor. Dijelaskan satu-satu di buku ini. Sehingga, sisi ini yang membuat buku ini jadi lebih kaya dan pastinya: layak dibaca. Pembaca tidak hanya mendapatkan pandangan dari Milea tentang Anhar yang kacau, tapi juga sudut pandang Dilan melihat Anhar yang ceria, humanis, dan bersahabat.

Buku ini juga tentang persahabatan yang baik. Mereka-mereka yang lahir di sepanjang tahun 80 an (awal tengah akhir) pasti sedang/sudah melewati yang dialami Dilan muda dan dewasa (ketika cerita ini dituliskan). Tentang solidaritas komunal yang tumbuh di kelompok-kelompok anak dan remaja. Hingga sekarang juga begitu. Ini hal yang wajar ketika manusia akan selalu berusaha mempertahankan identitas kelompoknya.

Contohnya, Dilan yang terpaksa berbohong pada Milea untuk berjanji tidak akan menyerang geng motor yang telah membunuh kawannya, Akew.

Bila diperhatikan, Dilan mengadakan dua lapis pengorbanan yang patut kita tiru. Setidaknya, akan efektif di kalangan anak-anak muda. Pertama, Dilan menolak permintaan terakhir Milea untuk tidak bergabung lagi dengan geng motor. Alasannya, kawan mereka, satu orang telah mati. Milea ingin Dilan berhenti, jika tidak, Milea akan memutuskan hubungan. Dilan menyanyangi Milea sebagaimana ia menyayangi keluarganya. Sehingga, daripada melibatkan Milea, ia memilih Milea yang harus pergi agar terhindar dari masalah.

Kedua, Dilan memilih merasakan dan menjaga soliditas geng motornya, dan terpaksa berada di rumah temannya selama seminggu demi melindungi martabat keluarganya. Meski pada akhirnya, ia kembali ke rumah. Dengan tanpa Milea lagi tentunya.

Pelajarannya: kita punya sejuta alasan meproteksi secara ketat orang-orang yang kita sayangi. Sangat lumrah.

Pada titik ini, Dilan mengajarkan secara tidak langsung bahwa kita semua punya banyak masalah, di sekolah, di komunitas masyarakat, dan di mana saja. Tapi kita tidak (boleh) meninggalkan keluarga. Keluarga adalah benteng pertahanan terakhir.

Menyukai seseorang itu seperti begitu simpel, tapi meninggalkannya menjadi begitu tidak mudah. Saya rasa, tidak orang-orang di dunia ini yang benar-benar kita tinggalkan. Mereka tetap ada di kepala dan di pikiran yang menggelayut. Sebab kita semua dituntut menjaga hubungan itu sepanjang hidup. Apapun bentuk relasinya nanti.

Adapun perpisahan, ini yang benar-benar berat. Cuma keikhlasan dan niat baik yang bisa membayarnya dengan lunas. Keikhlasan ini yang benar-benar berat. Tidak mudah dicakapkan, apalagi dilakukan. Tapi kita harus meninggalkannya dengan ikhlas. Seperti Dilan-Milea.

Barangkali seperti ini. Ketika Anda kehilangan uang di jalan, agar bisa tenang dalam hidup, Anda harus melakukan dua hal ini. Pertama: mengikhlaskan fisik dan tentu saja manfaat uang itu. Kedua: kepercayaan dan harapan baik Anda agar jika saja uang itu ditemukan, ia berganti memberi kebaikan memberi kebaikan bagi siapa yang menemukannya.

Buku ini sendiri sudah mengetengahkan hal yang patut kita ingat sama-sama, bahwa perpisahan itu lumrah. Perbedaan pandangan itu biasa-biasa saja. Tidak perlu diatasi dan disikapi berlebihan. Cukup berdamai dengan diri sendiri. Kita akan berpisah dengan siapa saja setelah bertemu, tentu saja, selama hidup ini. Mengisinya dengan pergulatan pemikiran yang lebih menenangkan dan menyenangkan.

Buku ini diakhirkan dengan Dilan yang berharap: siapa saja yang berpisah, akan menjadi kuat bersama kehidupan (yang selalu baru) karena dirawat, bentuk-bentuk kecintaan (yang selalu baru) karena kasih sayang, dan pemahaman (yang selalu segar) karena komunikasi yang terjaga.

Oya, “Suara Dari Dilan” ini juga dilengkapi oleh karakter-karakter bernuansa sejuk dan menyenangkan. Ada Bunda (Ibunya Dilan) dan Ibu (Ibunya Milea), dan beberapa teman. Dua orang yang tidak bisa dipisahkan dari kuatnya karakter Dilan dan Milea, yang ternyata adalah hasil didikan orang tua. Duo bunda ini selalu tampil memberi nasehat bila dibutuhkan, dan sama sekali bukan tipe pengekang kreativitas anak-anak.

Nah, segala kelumrahan yang tidak kita sadari ini yang membuat buku ini menarik. Jika Anda sempat membaca, akan mengernyitkan dahi, dan berkata, “Ooo”. Anda akan punya momen seperti itu setidaknya sekali.

Sama seperti kelumrahan dan kesederhanaan cerita-cerita Keluarga Cemara karangan Arswendo Atmowiloto. Kesederhanaan yang tak terduga tapi meyakinkan dan membuat Anda semua menjadi kuat dalam hidup.

Jika Anda pembaca Dilan, baik buku satu, dua, atau tiga.
Anda pasti ingin kisah ini berlanjut. Saya juga begitu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun