Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

[Resensi Buku] Kisah Penghabisan Dilan-Milea

6 Februari 2017   09:05 Diperbarui: 6 Februari 2017   18:29 1382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua, Dilan memilih merasakan dan menjaga soliditas geng motornya, dan terpaksa berada di rumah temannya selama seminggu demi melindungi martabat keluarganya. Meski pada akhirnya, ia kembali ke rumah. Dengan tanpa Milea lagi tentunya.

Pelajarannya: kita punya sejuta alasan meproteksi secara ketat orang-orang yang kita sayangi. Sangat lumrah.

Pada titik ini, Dilan mengajarkan secara tidak langsung bahwa kita semua punya banyak masalah, di sekolah, di komunitas masyarakat, dan di mana saja. Tapi kita tidak (boleh) meninggalkan keluarga. Keluarga adalah benteng pertahanan terakhir.

Menyukai seseorang itu seperti begitu simpel, tapi meninggalkannya menjadi begitu tidak mudah. Saya rasa, tidak orang-orang di dunia ini yang benar-benar kita tinggalkan. Mereka tetap ada di kepala dan di pikiran yang menggelayut. Sebab kita semua dituntut menjaga hubungan itu sepanjang hidup. Apapun bentuk relasinya nanti.

Adapun perpisahan, ini yang benar-benar berat. Cuma keikhlasan dan niat baik yang bisa membayarnya dengan lunas. Keikhlasan ini yang benar-benar berat. Tidak mudah dicakapkan, apalagi dilakukan. Tapi kita harus meninggalkannya dengan ikhlas. Seperti Dilan-Milea.

Barangkali seperti ini. Ketika Anda kehilangan uang di jalan, agar bisa tenang dalam hidup, Anda harus melakukan dua hal ini. Pertama: mengikhlaskan fisik dan tentu saja manfaat uang itu. Kedua: kepercayaan dan harapan baik Anda agar jika saja uang itu ditemukan, ia berganti memberi kebaikan memberi kebaikan bagi siapa yang menemukannya.

Buku ini sendiri sudah mengetengahkan hal yang patut kita ingat sama-sama, bahwa perpisahan itu lumrah. Perbedaan pandangan itu biasa-biasa saja. Tidak perlu diatasi dan disikapi berlebihan. Cukup berdamai dengan diri sendiri. Kita akan berpisah dengan siapa saja setelah bertemu, tentu saja, selama hidup ini. Mengisinya dengan pergulatan pemikiran yang lebih menenangkan dan menyenangkan.

Buku ini diakhirkan dengan Dilan yang berharap: siapa saja yang berpisah, akan menjadi kuat bersama kehidupan (yang selalu baru) karena dirawat, bentuk-bentuk kecintaan (yang selalu baru) karena kasih sayang, dan pemahaman (yang selalu segar) karena komunikasi yang terjaga.

Oya, “Suara Dari Dilan” ini juga dilengkapi oleh karakter-karakter bernuansa sejuk dan menyenangkan. Ada Bunda (Ibunya Dilan) dan Ibu (Ibunya Milea), dan beberapa teman. Dua orang yang tidak bisa dipisahkan dari kuatnya karakter Dilan dan Milea, yang ternyata adalah hasil didikan orang tua. Duo bunda ini selalu tampil memberi nasehat bila dibutuhkan, dan sama sekali bukan tipe pengekang kreativitas anak-anak.

Nah, segala kelumrahan yang tidak kita sadari ini yang membuat buku ini menarik. Jika Anda sempat membaca, akan mengernyitkan dahi, dan berkata, “Ooo”. Anda akan punya momen seperti itu setidaknya sekali.

Sama seperti kelumrahan dan kesederhanaan cerita-cerita Keluarga Cemara karangan Arswendo Atmowiloto. Kesederhanaan yang tak terduga tapi meyakinkan dan membuat Anda semua menjadi kuat dalam hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun