Bagi laki-laki dewasa, yang tidak boleh ketinggalan dalam lopa-lopa adalah tembakau negeri dan daun pandoki untuk melinting rokok. Di pasar inilah, para warga, membeli kebutuhan dapur dan pribadi mereka dalam tomang dan lopa-lopa untuk seminggu berikutnya. Akhirnya, pasar, menjadi tempat bagi saya (dan kita juga) menyaksikan kebudayaan. Menyaksikan masyarakat berkarnaval. Saling merayakan hidup. Tidak ada tempat bagi strata dan identitas sosial.
Keunikan lain pasar ini adalah kedisiplinan. Jadi ada semacam kentongan besi yang dipukul pada pukul enam pagi menandakan pasar ini dimulai, lalu ditutup pukul sembilan pagi. Sebelum kentongan ini dimulai, warga tidak boleh memulai transaksi sama sekali. Hal ini menihilkan kesempatan mengeruk barang. Kecenderungannya hanya ada penjual dan pembeli. Warga yang butuh dan membutuhkan. Bukan menimbun barang. Karakteristik sosial masih dipertahankan. Barangkali, alasannya, karena mereka perlu.
Cerita di atas adalah nostalgia pribadi tentang nilai-nilai masyarakat. Value tertanam dalam interaksi kebudayaan dalam pasar patut dipertahankan. Sudah dua tahun berlalu, dan saya berharap semoga nilai-nilai di dalamnya masih tetap bertahan di tengah gempuran modernitas.
Ribuan pasar rakyat tersebar di seluruh Indonesia. Pasar Mambuni-Buni hanya satu dari sekian banyak itu. Barangkali dengan adanya momentum Hari Pasar Rakyat Nasional akan menjadi titik balik perubahan pola pikir masyarakat dan pemerintah terhadap pasar tradisional.
Mengapa demikian. Sekarang, mari coba kita bercermin dari situasi terkini. Indonesia mengalami kecenderungan kehilangan pasar tradisional di Indonesia secara perlahan. Survey yang dilakukan AC Nielsen pada 2013 mengonfirmasi hal tersebut. Jumlah pasar rakyat di Indonesia terus mengalami penurunan. Data yang dirilis Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) memperlihatkan kurva penurunan yang tajam dari 13.540 menjadi 9.950 pasar tradisional dalam kurun waktu empat tahun (2007 – 2011).
Ketua IKAPPI, Abdullah Mansyuri dalam wawancara dengan Bisnis menegaskan dampak jika hal ini terus berlanjut, akan menghilangkan periuk nasi para pedagang eceran tradisional kecil. Asumsinya, setiap pedagang pasar tradisional menghidupi keluarga inti mereka berjumlah 5 orang (suami, istri, dan 3 orang anak). Maka kira-kira ada sekitar 62.5 juta jiwa akan kehilangan mata pencaharian.
Kondisi ini tentu saja memprihatinkan sebab selain banyak masyarakat yang bergantung pada pasar rakyat murah dan terjangkau, para pedagang kehilangan lahan mencari sesuap nasi.
Sejatinya tokoh-tokoh pemerintahan punya kapasitas lebih dalam mengimbau masyarakat. Irman Gusman dan DPD RI pada awal 2014 mencanangkan Gerakan Nasional Belanja Pasar Tradisional yang dimulai di Solo. Inisiatif ini ada karena kegelisahan yang besar dengan keberadaan pasar ritel modern, yang tidak hanya tumbuh di perkotaan tapi juga di pedesaan kecil. Sedikit demi sedikit menggeser lahan ekonomi para pedagang pasar rakyat.
Sebagai Penyokong Ekonomi Kerakyatan
Industri mikro dalam pasar tradisional merupakan elemen vital perencanaan ekonomi dan pembangunan bagi banyak kota di seluruh dunia. Cohen (1986) menunjukkan bahwa nilai penjualan tahunan pasar tradisonal seluruh wilayah Bogor mencapai 67 juta dollar. Mempertahankan pasar tradisional menjadi krusial sebab sektor informal pasar rakyat tumbuh sangat cepat daripada pertumbuhan formal sektor di daerah urban pada banyak negara.
Anggapan paling logis menurut Farbman (1980), alasannya adalah pertambahan penduduk kota yang signifikan (termasuk perpindahan penduduk desa-kota) dan bertumbuhnya lapangan pekerjaan informal akibat pembangunan industri skala besar. Ini mengakibatkan kebutuhan masyarakat akan kebutuhan mendasar (makan-minum) pada pasar rakyat mewujud semakin besar.
Pada umumnya, pasar tradisional berlokasi di tempat yang kecil dengan kios-kios yang juga berukuran kecil. Pedagang pun hanya membutuhkan kemampuan dasar, fasilitas umum standar, dan sumber daya yang kecil. Meski demikian, di balik semua itu, pasar rakyat menyimpan potensi pendapatan yang besar dan lapangan pekerjaan yang terbuka lebar bagi masyarakat kecil.
Penelitian Chapman (1984) di Bogor menunjukkan, dengan penduduk berjumlah 250 ribu, ada tersedia 18 ribu kios-kios tradisional, yang artinya perbandingan setiap 14 jiwa berkumpul, ada 1 pasar yang terbentuk di komunitas tersebut. Kecenderungan yang sama diperlihatkan di Amerika Tengah, di mana organisasi internasional tenaga kerja (ILO) menemukan serapan tenaga kerja aktif di kota-kota besar memiliki angka 29 persen pada pasar-pasar tradisional.