Hitungan tanggal di Januari baru saja lewat setengah memberi sejumlah keterkejutan. Salah satunya dua toko kue diluncurkan nyaris bersamaan di Makassar oleh artis dari Jakarta. Efek kejutnya tidak sampai di situ, mereka menggunakan Makassar bagian tak terpisahkan dari nama produk. Tiba-tiba, produk ini juga kemudian didaulat pemiliknya menjadi ‘oleh-oleh na Kota Makassar, Tena Lawanna’ (oleh-oleh Kota Makassar, tak tertandingi).
Seolah-olah produk cake yang dihasilkan merupakan sajian tradisional khas. Lalu kemudian dikemas apik, teknik pembuatan modern, atau bahan serta bumbu masak lokal, misalnya. Setidak-tidaknya, mereka menyajikan cita rasa Makassar dan Sulawesi Selatan. Ternyata, yang kita harapkan jauh dari itu.
Eits, jangan buru-buru salah sangka. Saya tidak ada maksud antipati. Saya juga tidak ada minat mengonsumsi cake and bakery dengan gula melimpah yang dihiasi warna seperti pelangi. Bagi saya, yang cuma warga biasa ini, Sanggara peppe’ plus sambal cobek, ditutup sajian lembut lumer di mulut dan lidah seperti Kue Barongko, bagi saya lebih dari cukup (cukup balala ‘rakus’. hehe).
Sebagai masyarakat, saya tentu senang kedatangan ini. Bahwa pasar oleh-oleh di Makassar menunjukkan indikasi bertumbuh dan bergeliat. Tidak perlu repot-repot menolak dua toko kue ini. Justru saya rasa, malah menyemarakkan ragamnya oleh-oleh (khas dan tidak khas) yang dijual di Makassar. Turis domestik dan internasional jadi punya lebih banyak alternatif buah tangan untuk keluarga di rumah.
Justru sebaliknya, apresiasi pantas kita berikan karena mereka sudah bela-bela menanamkan investasinya di Makassar. Setiap produk juga punya jenis targetan pasar tersendiri. Yah, setiap orang ada rejekinya masing-masinglah. Makasih loh ya, sudah jauh-jauh datang kemari.
Tidak perlu panik juga lahan pelaku lokal usaha bakery and cake menjadi terserobot pendatang baru yang mengambil tempat lebih megah dengan tampilan meyakinkan. Mereka juga datang ke sini karena melihat market share Makassar yang potensial. Mereka juga cari rejeki kan ya. Sok atuh, silakan.
Ditilik dari potensi laku atau tidaknya, dua toko baru tersebut di atas kertas sudah menang duluan. Mereka dua tiga langkah lebih maju. Kepopuleran sang pemilik, gencarnya strategi marketing, social media ecosystem yang mereka bangun, dan tentu saja, inovasi produk jualan toko tersebut.
Di satu sisi, upaya tersebut kita beri applause bakal mendongkrak daya beli masyarakat terhadap penganan ‘yang katanya khas’ Makassar. Pada sisi lain, kita juga menyimpan kekhawatiran, yang sebenarnya juga belum tentu benar.
Kita tidak menginginkan kue tradisional ‘yang 100 persen khas’ itu kemudian dianggap lebih rendah tingkat kelokalannya daripada toko-toko modern tersebut. Semoga saja memang tidak benar adanya. Kalau benar, ya, kita harus ‘melawan’.
Hal lain yang dikhawatirkan, para traveller yang singgah ke Kota Daeng lebih mengganggap ‘kue artis dari Makassar’ di outlet bakery baru dan cantik itu sebagai tempat icip-icip oleh-oleh. Dibanding sajian penganan lokal yang juga sama modernnya.Â
Ketimpangan ini yang harus diminimalkan. Tentu saja bukan dengan menolak eksistensi, tapi pada melebihkan upaya. Agar UKM lokal dan sosok-sosok konsisten yang senantiasa menjaga tradisi local cuisine bisa berkompetisi secara sehat dan bermartabat.