Kita tentu tidak ingin the stakeholders hanya berani melayani pemain dan pelaku usaha sukses, pintar bermedia sosial dan punya nama besar, kan? Lantas kapan para pelaku ekonomi jajanan lokal ini –sebagian masyarakat menengah ke bawah- bisa mendapatkan kesempatan bertumbuh yang sama? Harus dihindari kecenderungan seperti itu. Kesan yang ditimbulkan hanya melayani pelaku pelaku kreatif besar dan menyampingkan yang kecil.
Menurut saya, barangkali setidaknya ada dua hal yang harus kita perhatikan bersama-sama. Pertama, dalam rangka menjaga tradisi jajanan lokal, dua ruang ini harus dijaga dengan baik keberlangsungannya. Ruang produksi dan ruang apresiatif.
Ruang produksi merupakan tempat di mana para pelaku usaha kecil menengah memproduksi usahanya. Sementara ruang apresiatif adalah tempat/wadah kreator memamerkan hasil karya buatannya. Katakanlah itu ruang pameran/outlet atau cake shop yang representatif.
Kendalanya, para pemain UKM dan sejumlah persona ini tidak punya ruang apresiatif yang layak, baik segi fisik maupun ruang maya. Mereka terkadang hanya mengandalkan words of mouth, istilahnya, bisik sana-sini. Kemampuan mereka dalam bermain, bergulat dalam strategi ruang digital juga terbatas.
Padahal jika dimaksimalkan, generasi milenial bisa paham cerita-cerita di balik sebuah penganan khas Makassar. Barangkali karena cerita di balik kue atau mengangkat inspirasi konsistennya para pembuat kue tradisional dalam menjaga warisan turun-temurun resep keluarga, misalnya, kue putu cangkir, barongko, atau apamparanggi (kue apang).
Para pembuat jajanan ini begitu khas sehingga barangkali Anda tidak akan mendapatkannya di mana pun. Hanya di tempat itu, dijual di pasar tradisional, atau di kios-kios kecil yang sejak dulu kondisinya begitu. Mengapa? karena sifatnya yang kultural. Tradisi yang kuat mengakar. Ada nilai budaya dan tradisi yang kuat mengakar di situ. Tidak bisa dibeli ataupun ditukar produk jajanan semodern apa pun itu. Siasat paling sederhana, influencers –bloggers, instragamers, vloggers, local public figures, dll- rela menjadi brand ambassador yang diharapkan menaikkan rating mereka di kancah dunia gastronomi. Secara tidak langsung, kita berarti turut menjaga warisan budaya.
Kedua, saya merasa wajib hukumnya tercipta crossing collaboration, meminjam istilah Mel Ahyar. Para pelaku usaha ini punya semacam kolaborasi produk tradisional dan modern dessert tersebut, baik dari segi bahan maupun teknik pembuatan. Lalu kemudian lahirlah beberapa bakery baru yang smells-nya lokal. Â
Atau katakanlah seperti ini. Pelaku besar ini jika dimungkinkan menjadi etalase bagi jajanan tradisional daerah. Di samping mereka menawarkan produk andalan toko, juga memajang penganan tradisional murah. Ini kita harapkan bisa meningkatkan para pelaku usaha lokal tanpa meninggalkan tradisi. Kedengarannya naif ya? Ah sudah, biarkan saja.
Contohnya, outlet toko besar menyajikan atraksi langsung bagaimana pembuatan langsung barongko (lagi-lagi barongko, saya suka). Juga dangke misalnya, yang sekali waktu saya saksikan langsung di pasar tradisional Baraka, sebuah daerah pegunungan di Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan. Proses pembuatannya unik dan menyimpan kesan.
Pada akhirnya, upaya harus dilebihkan. Lalu, mari kita menawarkan dan menyajikan apa selayaknya dijual dan mempertahankan yang sepatutnya dipertahankan. Seperti nilai tradisi dalam jajanan oleh-oleh lokal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H