Barangkali pengusaha kuliner Makassar, lembaga yang fokus menangani Ekraf (Ekonomi Kreatif), dan ekosistem kuliner yang bertumbuh secara organik di kota ini bisa secara bersama-sama merancang strategi yang jitu merebut hati pasar. Siapa lagi dong yang mau menjadi produsen produk jajanan lokal kalu bukan kita sendiri. Tul, nggak? Â Â
Ambillah contoh oleh-oleh dari Thailand. Oleh-oleh bisa didapatkan di setiap sudut Thailand, enteng dibawa-bawa, distribusinya cepat, ruang produksinya banyak, dan permintaan datang tak pernah henti. Ini karena ekosistemnya ada, dan sudah terbangun sejak lama.
Kalau di Indonesia, yang paling gede tempatnya terpusat. Pasar Kue Subuh namanya. Tempat aktivitas jual-beli tradisional yang menjual berbagai macam penganan dan kudapan tradisional khas Pulau Jawa dan daerah-daerah lain di Indonesia. Puluhan jenis kue tradisional dijajalkan di sana. Buka dari pukul 9 malam hingga pukul 6 pagi.
Dulu lokasinya cuma di Pasar Senen. Sekarang lokasinya juga ada di Blok M dan bilangan Bintaro. Ada puluhan bahkan ratusan jenis penganan khas. Satu jenis diproduksi hingga angka seribuan biji per jenisnya. Meski cake dari luar Indonesia sudah mulai masuk berupa ragam, tapi magnetnya tetap saja kue tradisional. Â Â Â
Menjaga tradisi, memacu ekonomi lokal
Tapi, jika ingin benar-benar ingin membawa pulang rasa Makassar ke rumah, saya tidak sarankan lho untuk beli buah tangan di kedua tempat yang baru itu. Soalnya, itu sungguh-sungguh bukan yang dicari dari Makassar. Kalau sekadar mencari oleh-oleh dengan label Makassar sih, silakan. Anda mau yang khas? Ya datanglah ke pasar-pasar tradisional. Â
Hal bagus kita tiru barangkali datang dari Jakarta Food Adventure (JFA). Merupakan trip organizer berbasis komunitas yang mengeksplorasi budaya kuliner tradisional. Targetnya adalah wisatawan asing.
Lebih dulu ada, Bondan Winarno menggawangi Jalansutra. Sebuah komunitas jalan-jalan dan pencinta makanan. Tahun kemarin, muncul laporan di harian Kompas yang sungguh demi Tuhan menggugah selera saya. Jadi, ada sekitar sepuluhan turis asing ditemani Om Bondan jalan-jalan berbayar di sejumlah tempat. Â
Mereka adalah para ekspat dan wisatawan asing berdompet tebal yang ridho sepenuh jiwa merogeh kocek ratusan hingga ribuan dollar demi mencicipi dan berinteraksi langsung dengan kurang lebih sepuluh penganan tradisional unik ala totally khas Indonesia. Blusukan di lokasi-lokasi produksi yang sederhana. Siapa yang untung? Kembali ke pelaku lokal, para penjaga tradisi makanan khas. Â
Keuntungan yang tidak kalah penting adalah masyarakat bisa merayakan dinamika budaya penganan kaki lima dan tradisional. Meski tidak perlu meniru sepenuhnya, Makassar saya yakin bisa melakukan hal yang serupa.
Di sinilah letak peran para pemangku kepentingan di dunia pariwisata, perdagangan, dan ekonomi kreatif terjun ke lapangan langsung melihat potensi pertumbuhan yang ada. Dan bagaimana ekosistemnya bisa dikembangkan secara organik dari komunitas-komunitas kuliner Makassar yang sudah lebih dulu ada.