Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hanya Akan Ada, "Satu Indonesia"

1 Oktober 2016   20:09 Diperbarui: 1 Oktober 2016   20:19 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini pengalaman berbagi dengan anak-anak. Sekitar dua tahun silam. Selama setahun saya dipercayakan memegang kelas tiga sebagai guru wali kelas di sekolah dasar, di Papua Barat.

Hari Sabtu menjadi waktu paling menyenangkan bagi kami semua. Karena di hari itu, semua ide, kreativitas, tawa, dan gerak lincah tertumpah ruah. Siapapun bisa berbagi. Anak-anak sekalipun. Pernah suatu ketika, saya mabuk Mop Papua. Seharian di Sabtu itu, mereka bergiliran menceritakan Mop paling unik dan lucu pada saya.

Anak-anak murid saya yang imut-lucu-menggemaaskan di kelas tiga selalu menunggu-nunggu datangnya hari Sabtu. Mereka bahkan selalu merelakan diri tidak bolos sekolah ke pasar distrik yang bukanya cuma sekali seminggu itu.

Di kelas kami, sebuah peta Indonesia terpampang dengan gagahnya. Setiap hari, anak-anak menyaksikan peta itu. Mereka melihat fakta bahwa negera mereka, ternyata terdiri dari lima pulau berukuran besar. Yang paling ujung ada Pulau Sumatera. Hingga paling ujung timur yang merupakan kebanggaan mereka. Pulau yang berbentuk burung Cendrawasih: dataran besar Pulau Papua.

Semua pulau itu yang tergabung-gabung itu, yang mereka yakini pasti sangat besar, hanya merupakan satu negara saja: Indonesia.  

Setiap kali mereka melihat lekat-lekat peta itu, mereka selalu saja terkagum-kagum, aneh, dan juga terbit rasa heran. Setiap hari mereka iseng menjadikan bahan mainan, di mana letak Fakfak, atau di mana letak Teluk Bintuni. Ada saja anak muridku yang sampai berdiri lama-lama melihat peta. Seperti menghadap cermin saja.

Ada juga yang terbingung-bingung dan penasaran. Barangkali belum menemukan di mana letaknya tulisan ‘Manokwari’ atau ‘Makassar’.

Nah, di salah satu Sabtu pagi yang cerah, saya memberikan pengalaman sederhana bagi mereka. Menggambar Peta Indonesia. Alih-alih menggambar, sebenarnya hanya menjiplak peta Indonesia yang sebenarnya.

Saya ingin menyelipkan pesan penting ke anak-anak. Tentang Indonesia mereka yang sungguh beragam. Mengapa negara mereka yang terdiri beda bahasa, beda budaya, beda warna kulit dan beda agama ini bisa rukun-rukun saja senantiasa. Bagaimana cara menjaga yang beda-beda itu bisa tetap satu, hidup berdampingan dengan damai.   

Sesi kelas Sabtu itu kami namakan “Hanya Satu Indonesia”. Sebuah model pembelajaran tematik bagi anak-anak kelas tiga yang mengintegrasikan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Ilmu Pengetahun Sosial. Khususnya pada kompetensi bagaimana anak-anak melakukan kerjasam dan mengenal kebhinnekaan Indonesia.

Dengan aktivitas itu, anak-anak kesayangan saya dapat merasakan sendiri pengalaman menggambar 5 pulau besar Indonesia secara bersama-sama, mengenal keragaman masing-masing, serta mendorong mereka menyampaikan argumentasi singkat mengenai persatuan.

Olehnya itu, saya merancang kegiatan yang sejak awal melibatkan anak-anak dalam aktivitas kelompok. Menguji kreativitas mereka, dan kekompakan kerja sama mereka.

Untuk membuat satu peta Indonesia, dibutuhkan 6 buah kertas buram (memudahkan anak-anak menjiplak) beserta sebuah selotip berwarna bening untuk menggabungkannya (bahwa menyatukan Indonesia bukan hal yang mudah, butuh tenaga dan sumber daya yang besar dan kesadaran untuk mau bersatu).

Setelah itu, setiap kelompok mulai maju ke depan kelas untuk menjiplak secara bersama-sama.

Kepada setiap kelompok, saya menyediakan krayon dan pensil warna untuk mewarnai setiap pulau yang telah mereka gambar. Setiap pulau harus berbeda warna. Lima pulau besar di Indonesia yang sudah mereka kenal sebelumnya, wajib digambar.

Tiga anak muridku mengerjakan satu peta Indonesia. Secara keseluruhan, anak-anak terbagi dalam empat kelompok.

“Beta Sumatera, kuning

“Beta Papua, hijau

“Beta Jawa, merah

“Beta Sulawesi, biru

“Beta Kalimantan, ungu

Anak-anak bersorak riuh berebutan memilih pulau dan warna yang akan ia gambar.

Setelah digambar, kertas buram yang sudah tergambari peta, akan dilapisi lagi dengan karton manila atau karton biasa untuk membuat peta jadi kokoh dan kuat.

Saya begitu senang dengan antusiasme anak-anak. Mulanya saya pikir, hal ini akan ditolak dan didebat oleh anak-anak. Rupanya tidak. Setelah jadi, saya begitu gembira. Ada empat peta Indonesia bikinan tangan anak-anak. Saya tak tahan untuk tersenyum puas. Anak-anakku sedang ‘mengerjakan’ Indonesia.

Dengan pengalaman ini, mereka bisa lebih mengenal peta Indonesia. Dan mereka semakin lekat dengan pulau-pulau yang ada di Indonesia. Mereka merasakan menyentuh Sumatera, menyentuh Jawa, menyentuh Sulawesi, menyentuh Kalimantan, menyentuh Maluku, dan lebih menyentuh Papua. Begitulah, mereka akan merasakan sensasi ‘menyentuh’ Indonesia.

Indonesia yang “berwarna” dan Indah.

Dan, pada akhirnya, sebelum bel istirahat berbunyi, saya jadi benar-benar sumringah ketika anak-anak ternyata berhasil menyelesaikan empat buah peta Indonesia yang berwarna-warni. Tentunya dengan mengabaikan unsur pewarnaan dalam topografi.

Kami semua berkumpula di tengah-tengah kelas setelah sebelumnya menyingkirkan bangku dan meja ke pinggir. Beberapa pertanyaan refleksi ringan saya berikan ke anak-anak untuk memancing pendapat mereka sendiri.

“Nak, apakah gambar peta tersebut bisa cepat selesai jika hanya dikerjakan satu orang? Mengapa? (Nilai yang diajarkan: Tujuan Bersama, Kebersamaan dan Kerjasama)

“Nak, apakah hasil peta tersebut bisa bagus jika tidak diberi warna atau diberi warna tapi cuma satu warna? Mengapa? (Nilai yang diajarkan: Toleransi dan Keragaman Suku serta Budaya)

“Nak, menurut kamorang   kira-kira, apa yang biking buat 5 pulau besar yang macam-macam warna ini menjadi satu negara dan hidup dengan rukun? (Nilai yang diajarkan: Gotong Royong, dan Persatuan)

Hari Sabtu itu, saya sungguh belajar banyak dari kepolosan jawaban anak-anak. Komentar mereka sungguh tidak terduga. Kadang lucu, kadang cerdas, tapi selalu menginspirasi. Saya lah yang sesungguhnya mendapatkan banyak ilmu dan pelajaran dari anak-anak hari itu.

Nah, iseng-iseng, saya bertanya lagi, “Nak, apa yang kamong rasakan ketika menggambar peta Indonesia yang besar tadi?” saya menanya anak-anak satu persatu.

“Pa’guru, tadi kitorang senang-senang, bermain, dan menggambar peta yang bagus.” kata Tangkia.

“Pa’guru, tadi kitorang gambar peta, kitorang sama-sama musyawarah, baru (kemudian) gambar.” sambung Nahum.

“Tadi kitong gambar peta, bagus, saya pu hati sangat senang.” tutur Elsina dengan senyumnya yang mengembang sempurna.

“Pa’guru, awalnya sa pikir susah, ternyata membuat peta itu gampang. Kitong biking-biking, sebentar saja, eh su jadi.” kata Sipora dengan tangkas.

Kitong gambar tadi bagus, macam (seperti) pelangi-pelangi.” kata Nova mengakhiri.

“Betul nak, pelangi itu indah kalau bermacam warna. Coba kalau satu warna saja. Dia tidak akan kelihatan indah di langit sana. Sama dengan peta Indonesia yang kamorang baru selesai gambar, bagus kalau warnanya beda-beda. Di Fakfak, bukan cuma Kristen saja toh?”

“Iya pa’guru, ada Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Konghucu” balas anak-anak hampir serempak.

Seperti Indonesia yang beragam dari Sabang sampai Merauke, begitu pula warna-warni pelangi pada peta yang anak-anak bikin. Betapun beragam warnanya, pada akhirnya, hanya akan tetap jadi satu dan satu saja peta: namanya peta Indonesia. Ramai-ramai, kami membentangkan peta Indonesia itu. Dan, tak lupa kami mengabadikan momen yang berharga ini.

Eh, apa saya udah bilang, “kalau udah jadi peta buatan anak-anak ini hasilnya keren banget?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun