***
Negaraku, negara kita, Gloria, mungkin punya banyak masalah. Tapi ketika identitasku –entah itu paspor atau apa pun- dipertanyakan, aku masih akan menjawab yakin, “Aku Indonesia.” Sama sepertimu Gloria, kau juga pasti akan menjawab dengan yakin dan mantap. Di antara orang-orang yang bukan Indonesia, itu menjadi penting. Mereka harus tahu, bahwa orang Indonesia masih memiliki rasa bangga akan negerinya. Diam-diam, malu-malu, atau terang-terangan.
Ikatan batin yang bertaut dengan memori masa kecil yang terserak, ingatan tentang orang-orang di dalamnya, dan apa pun itu yang memaksa identitas tidak bisa diabaikan sama sekali. Katakanlah itu seperti nyanyi Ibu Sud, “Tanah airku... tanah airku... tidak kulupakan.”
***
Hari ini, 17 Agustus 2016, NKRI-ku berulang tahun. Aku mengucap selamat untuk itu. Ah sial, kau beruntung, kau bahkan nyaris mengibarkan tinggi-tinggi bendera itu di Istana. Dua tahun silam aku mendengar dan selalu mengingat siaran ulangan peringatan detik-detik menegangkan di Pegangsaan 56 itu lewat radio baterai sebagai sebuah saat-saat yang berkesan. Pada sebuah kampung kecil di sibakan pegunungan Fakfak, yang gelombangnya sering berlarian.
Sekali lagi, Gloria, selamat. Selamat menikmati napak tilas 71 tahun perjalanan kemerdekaan bangsa kita ini. Aku belum lagi bisa melakukan apa-apa. Ah, seandainya pun Archandra jadi menteri, pasti ada yang bisa ia usahakan untuk negeri ini.
Namun, kita wajib belajar dari sejarah bangsa yang belum lama. Belum ada 100 tahun. Semoga akumulasi kesyukuran semua warga negara, termasuk dirimu Gloria, menjadi bongkahan energi yang terus menggandakan semangat untuk senantiasa berbuat.
Barangkali seperti Menteri Anies yang kemarin sempat teriak-teriak mengggerakkan literasi dan melarang pembredelan buku-buku jenis tertentu –meski ia sadar risikonya-, Barangkali seperti dirimu yang dengan sabar menjalani latihan hingga menjelang dikukuhkan dan hingga suaramu menguap melemah, “Aku tetap Indonesia’, atau juga Archandra yang rela meninggalkan Amerika karena mendengar ia dipanggil untuk memperbaiki ‘Indonesia’.
Tak ada alasan. Tak ada syarat. Bagi sebuah rasa kebanggaan memiliki Indonesia. Mungkin kita tak sepenuhnya butuh alasan untuk berbuat. Sebutlah itu tulus...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H