Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hei Gloria, Indonesia Kita 71 Tahun!

17 Agustus 2016   20:32 Diperbarui: 18 Agustus 2016   16:14 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Merah Putih yang selalu ditinggikan (dok. pribadi)

Redaksionalnya dibuat mirip-mirip “Merdeka atau Mati". Sebuah pekik perjuangan melawan kolonialisme di tahun-tahun lampau. Tapi kali ini, coba tebak, siapa yang berjuang? dan apa bentuk ‘Kesatuan’ yang diperjuangkan? Padahal negeri ini bukan melulu soal keamanan. Pendidikan, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, energi, sumber daya mineral, sumber daya manusia, dan semua turunannya.

***

Sayangnya pula, negaraku NKRI, yang dibalut dengan harga mati itu, tidak selalu mati-matian membela rakyat banyak. Negaraku NKRI yang minta dipenuhi itu, sering alpa melakukan pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Negaraku NKRI yang beroleh pertumbuhan ekonomi setara negara maju itu, tidak tahu ke mana penghujung angkanya.

Adakah langkah yang jelas bagaimana ‘Kesatuan’ Indonesia dengan jelas ditata ke depannya? Aku membayangkan, ‘Kesatuan’, karena kita bisa dengan mudah mengakses tempat-tempat di tanah Indonesia. Hei, tahukah kau bila bepergian ke daerah-daerah timur negeri ini biayanya bisa sangat mahal, tarif telepon di sana juga begitu tinggi?

Aku membayangkan, ‘Kesatuan’, karena kita bisa mengenyam sistem dan kualitas pendidikan yang sama di mana-mana di Indonesia. Tahu jugakah kau bahwa kualitas pendidikan dan kesehatan di sana sama buruknya? Ke mana ‘kesatuan’ itu?

***

Gloria, aku paham, menjadi warga negara, berarti menjadi warga yang belajar berkonstitusi. Semua ikut aturan yang sama bila berada dalam negara atau wilayah yang sama. Negaraku, memiliki empat hal: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.

Beberapa waktu lalu, majelis perwakilan terhormat di negaraku, senang sekali memakai istilah ‘Empat Pilar’. Sosialisasi NKRI-Bhinneka Tunggal Ika-Pancasila-UUD 1945 gencar dilakukan. Kepada siswa-siswa dan mahasiswa-mahasiswa itu.

Tapi, sekali lagi, ini juga cerita tentang negeriku yang memiliki persoalan paradoksal dengan ke-Empat Pilar itu. Barangkali, di sinilah tampil kekuasaan. Kekuasaan yang diselewengkan. Kekuasaan yang disalahgunakan. Negara ini ditinggali dan diurus oleh pemimpin-pemimpin itu dengan rasa tanggung jawab yang tidak sepenuhnya.

Negara kita, punya banyak anggota legislatif dan pengurus partai mantan koruptor, bahkan yang kudengar, negara kita punya menteri yang dahulu adalah para pelanggar dalam penegakan hak asasi manusia.

Ingatkah kau kepada Milan Kundera? Penulis Ceko yang legendaris itu, mungkin dia benar, bahwa perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun