Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hei Gloria, Indonesia Kita 71 Tahun!

17 Agustus 2016   20:32 Diperbarui: 18 Agustus 2016   16:14 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hidup adalah momen dari syukur ke syukur | Goenawan Mohamad

Kartu penduduk dan pasporku: Indonesia. Alasannya ayah dan ibuku: juga Indonesia. Kalau dirunut hingga beberapa lapis generasi: semuanya masih Indonesia. Negara ini, bagaimanapun, tanah kelahiranku. Itu tak bisa berubah. Meski, pilihan menjadi warga negara Indonesia sampai akhir adalah kehendak bebas dari orang per orang. Hak individu masing-masing yang diakui oleh pergaulan internasional.

Tapi akankah kita menjadi warga negara Indonesia sampai mati? Akankah pula kita ingin mempertahankan kewarganegaraan itu? Hal ini tentu menyisakan waktu untuk terungkap. Waktu menyimpan misteri bagi tiap insan bernyawa. Setiap manusia punya jalan hidup berlainan.

Kira-kira kalau kita boleh mengajukan tanya, “Apa arti sebuah kewarganegaraan bagi kita masing-masing?” Selembar kertas agak tebal dan eksklusif yang diberi cap, lalu kemudian benda itu kita namakan paspor? Atau setumpuk identitas lainnya yang hanya memberikan kebanggaan di momen-momen tertentu? Entahlah.

Seorang Perancis pada abad 12 mengatakan dengan masam, “Orang yang mendapatkan negerinya menyenangkan adalah ia yang hanya pemula yang masih mentah. Orang yang mendapatkan setiap negeri merupakan negerinya, ia sudah jadi orang yang kuat.” Negeri, bagi sebagian orang, hanya tempat lima kali lima meter tempat berlabuh yang seratus persen aman dari gangguan dan teror. Untuk itu, ia butuh cap untuk bisa tinggal di negara X, Y, dan/atau Z. Di mana pun itu.

Oleh karenanya, barangkali, bila sudah tidak betah, juga kita, dan bahkan siapa saja, bisa angkat kaki dari status kewarganegaraan. Pindah negara. Mengikuti ikatan pernikahan atau demi memudahkan urusan-urusan. Negara itu, mungkin jelas lebih makmur dan hampir tidak ada yang perlu diperjuangkan lagi di sana.

***

Meski begitu, inilah negara tempatku dilahirkan. ‘Negara Kesatuan Republik Indonesia’. Semua institusi yang ada, menyebutnya NKRI. Plus dengan kewajiban menyebarkan nilai-nilai di dalamnya.

Terlebih POLRI sebagai institusi sipil, dan TNI sebagai institusi militer dengan kewenangan menjaga stabilitas keamanan dari dalam dan luar. “Demi menjaga keutuhan NKRI.” Begitu yang sering kudengar. Kadang didengungkan dengan mempertontonkan urat syaraf.

Unsur ‘Kesatuan’-nya begitu sakral. Tidak boleh terpecah-pecah. Jangan sampai ada yang mau merdeka sendiri. Semua tindakan teror yang berpotensi mengancam keseimbangannya: diberangus.

‘Kesatuan’ ini dicirikan dengan berbagai perlambang dan simbol. NKRI dipatok dengan sebuah keniscayaan, “NKRI harga mati.” Slogan nasionalisme yang agak mengikuti kehendak inferior dan paranoia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun