Wooww. Sebuah pertemuan keluarga, sekaligus ajang hiburan, dan saling bertukar barang kebutuhan masing-masing. Jangan membayakan di sini ada spekulan pasar. Atau perasaan tamak mencari untung banyak. Sekedar memenuhi kebutuhan, lalu pulang, itu lebih dari cukup. Masih ada yang menggunakan barter lho.
Nah, di salah satu waktu menjelang akhir pekan, saya memutuskan ke Kampung Kaburbur. Salah dari dua kampung di distrik pegunungan yang penduduknya Muslim. Hal menariknya bukan sekedar itu, inilah kampung dengan keterbatasan akses paling minimal se-distrik.
Teman saya, dokter PTT di distrik yang telah setahun bertugas, menyarankan saya ke sana. Dan betapa saya sangat bangga dengannya sekaligus haru ketika saya mengetahui masyarakat se-distrik memujanya sedemikian hebat, dengan dedikasinya yang luar biasanya agar masyarakat dapat hidup dengan sehat dan terhindar dari penyakit. Pendeta sampai anak-anak mengaguminya.Â
Kampung Kaburbur terletak di daerah lembah yang berada di tengah-tengah Pegunungan Fakfak. Hanya sekitar 20 puluhan rumah yang menghuni kampung ini. Seluruhnya berada di pinggir aliran sungai yang begitu bening.
Seluruh isi kampung ini dikepung oleh perbukitan yang senantiasa mengeluarkan kabut. Berada di kampung ini layaknya seperti di tengah mangkuk. Sepanjang penglihatan bukit, hutan, dan sungai. Burung-burung hutan dengan suara menarik, cemerlang dan bulu yang penuh rupa warna terbang ke sana dan ke mari di antara vegetasi hutan hujan diselingi bakau.
Tapi demi menuju ke sini, juga bukan perkara yang mudah. Starting pointadalah Terminal dan sekaligus Pasar Tambaruni Fakfak, setelah itu mengambil Taksi jalur Distrik Kramonggmongga yang biasa mangkal di depan kios-kios mace-mace yang menjajakan sirih pinang dan hasil-hasil alam.
Perjalanan memakan waktu sekitar sejam. Sejak berangkat, perjalanan selalu menanjak. Mendaki dan memutari gunung. Hingga nanti tiba di Kampung Ubadari. Desa ini dialiri sungai yang sangat jernih, jeram-jeram kecil yang tersusun rapi dan geometrik. Dan yang paling memukau bagi saya, sesusunan air terjun kecil yang mengalir di tengah-tengah desa. Seperti dalam gambar kalender-kalender waktu jaman SD.
Hulu sungai Ubadari merupakan dermaga mini bagi perahu-perahu yang akan menuju dari dari Distrik Kokas, tetapi utamanya bagi kepentingan pasokan bahan makanan bagi masyarakat setempat yang masih berlokasi di sepanjang aliran sungai yang sama, misalnya Kampung Kaburbur, Kayuni Kawagas, atau bahkan Rangkendak yang berbatasan dengan Distrik Teluk Patipi.Â
Dari hulu sungai, perjalanan dilanjutkan dengan perahu katinting. Selama 15 menit mengarungi sungai ini, saya dimanjakan dengan pemandangan hutan bakau kiri kanan. Saya merasa jalur sungai ini seperti Kalimantan-nya Distrik Kramongmogga. Menjelang sore kami tiba. Â
Kepala Sekolah bukan asli masyarakat Kaburbur. Ia dari kampung yang dekat ke arah pesisir, Distrik Kokas. Tapi, meski demikian, beliau orang yang paling dihormati di sini, selain Bapak Imam. Bapak Kepala Sekolah tahu saya dari Kampung Pikpik yang berada di puncak, akan turun berkunjung. Menginap semalam, dan berbagi dengan anak-anak keesokan pagi. Beliau akhirnya datang di tengah langit yang sudah menunjukkan gelapnya yang pekat.