Biasanya, jika orang-orang ingin melepaskan penat dan menyegarkan kembali pikiran, mereka pergi jalan-jalan atau sekalian traveling dalam jangka waktu tertentu. Di tempat-tempat yang memanjakan mata, barangkali di sebuah pantai yang tenang atau di ketinggian dengan terpaan angin gunung: demi ketenangan.
Ada yang menjadikan ini sebagai rutinitas pekanan, bulanan, tahunan, atau tergantung momen. Ada yang menjadikan ini sebagai mata pencaharian (travel writer), atau hobi semata, bahkan yang semata-mata ikut-ikutan demi memenuhi konten berbagai akun sosial media. Setiap orang unik dengan alasan masing-masing. Semua sah-sah saja dan benar.
Tapi ada yang benar-benar penting dan (saya yakin) akan lebih membahagiakan lagi selain memikirkan kesenangan pribadi. Apa itu? membiarkan tubuh mendapatkan haknya memperoleh pelajaran dari alam dan masyarakat. Saya percaya bahwa traveling adalah tentang menunjukkan apresiasi sekaligus empati kepada lingkungan, termasuk manusia yang hidup di dalamnya.
Dan, di sinilah saya setahun dua tahun silam, tepatnya 2014. Bepergian dalam jangka tiga ratus enam puluh lima hari lebih di Kabupaten Fakfak Papua Barat. Kramongmongga, sebuah distrik yang berada di daerah ketinggian 1000-1500 m di atas permukaan laut. Sebenarnya, tujuan sebenarnya memang jauh dari jalan-jalan, atau bersenang-senang barangkali.
Kontur alam mengharuskan saya banyak jalan. Just rely on my own two foot. Mencoba mengamati, mendengarkan, dan memahami begitu banyak orang-orang yang saya temui. Beruntungnya saya, masing-masing memiliki isi kepala yang berbeda yang digali dari sudut pandang yang beragam pula. Saya seperti hidup di alam nasehat.
Meski saya beberapa kali mengunjungi tempat-tempat yang luar biasa indahnya, atau selibat dalam petualangan-petualangan menyenangkan sekaligus mendebarkan, ini semata-mata karena keramahtamahan dan kebaikan masyarakat setempat yang begitu sangat.
Keragaman yang Terjaga
Mayoritas penduduk beragama Katolik dan Protestan. Tapi saya tidak tahu mana yang sebenarnya lebih mayoritas, total ada 6 Gereja Katolik dan 6 pula untuk Protestan yang tersebar di 14 kampung. Kampung-kampung ini ada yang letaknya di pinggir jalan utama –masih terhitung jalan lintas kabupaten- ada juga yang harus berjalan kaki atau menumpang perahu untuk sampai ke sana. Oh iya, ada juga 2 bangunan Masjid.
Masyarakat adat memang memegang teguh adat, “Satu Tungku Tiga Batu” namanya. Mereka adalah satu keluarga dengan tiga pemeluk agama yang berbeda. Setiap marga, pasti memiliki saudara yang berlainan kepercayaan. Misalkan, marga Herietrenggi di gunung agamanya Katolik dan Protestan, sedangkan di pantai pesisir Herietrenggi-nya beragama Muslim. Begitu sebaliknya.
Jadi, jangan heran jika kebetulan berada di Fakfak, kawan akan menyaksikan orang-orang akan merayakan Hari Raya secara bersama-sama. Saat Natal, yang Muslim naik (ke gunung), dan marga yang di gunung akan turun (ke pesisir) untuk bergembira secara bersama-sama ketika Lebaran. Harmonis, bukan?
Masih ada lagi. Mereka bertemu sepekan sekali untuk merayakan sebuah kehidupan: Pasar. Ya, setiap Hari Sabtu pukul 5 hingga 9 pagi, masyarakat gunung dan pesisir akan bertemu di Pasar Mambumbuni, jalan ke arah Dsitrik Bomberay. Lokasi ini letaknya di hulu sungai, katakanlah di tengah-tengah, antara gunung dan laut. Sebuah kegembiraan yang amat sangat bahwa saya bisa melihat orang-orang laut datang dengan perahunya, dan (saya ikut-ikut menjadi bagian) masyarakat gunung: berkumpul di satu titik. Jalanan ditutup!