Mohon tunggu...
Mujahid Zulfadli AR
Mujahid Zulfadli AR Mohon Tunggu... Guru - terus berupaya men-"jadi" Indonesia |

an enthusiast blogger, volunteer, and mathematics teacher | https://mujahidzulfadli.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Pertama Sekolah: Menciptakan Ruang Interaksi Bagi Tumbuhnya Ekosistem Pendidikan

31 Juli 2016   15:54 Diperbarui: 31 Juli 2016   16:15 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya punya pengalaman yang cukup menarik ketika menjadi guru bantu di salah satu SD di Papua Barat, di daerah pegunungan sana, sekitar setahun lalu. Apa yang saya dapati, benar-benar berbeda dengan situasi di kota-kota besar. Di sana, para guru punya panggilan khusus yang menunjukkan kharismatik sekaligus kebesaran dalam tatanan sosial “Tuan Guru”. Setingkat dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat.

Ketika Hari Pertama Sekolah, sebagian para orang tua yang tidak ke kebun mengantarkan anaknya ke sekolah yang berada di tengah-tengah kampung. Tapi, bapa dan mama cukup segan masuk hingga ke sekolah. Atau tidak seperti yang kita liat biasanya, di mana orang-orang tua pada umumnya mengikuti mengintip proes pembelajaran anaknya di jendela.

Orang-orang di kampung, masih memegang teguh kata-kata orang-orang tua dahulu. Seperti “guru adalah kepercayaan orang tua di sekolah” atau “di ujung rotan ada emas”. Sehingga, setelah mereka selesai mengantar anak hingga ke pintu sekolah atau sudah memasuki halaman sekolah, mereka pun pulang. Mereka benar-benar segan.

Saya pernah diceritakan seperti ini oleh seorang guru senior di tempat saya bertugas. Bahwa hanya dengan satu tatapan mata singkat saja antara orang tua dan guru, ada satu makna yang terjadi: kepercayaan yang begitu besar dan melimpah pada sosok yang bernama Tuan Guru, “Tuang Guru, ini kitorang pu ana-ana, kitorang percaya ko” Selesai. Artinya, “pak guru, inilah anak-anak kami, kami serahkan sepenuhnya padamu, (karena) kami mempercayaimu” 

Interpretasinya begitu dalam. Bahwa apapun yang terjadi antara guru dan murid, orang tua punya kepercayaan 1000 persen itu semua adalah kebaikan untuk murid. Hanya satu yang tidak boleh terenggut: nyawa. Proses penyerahan hari pertama sekolah di tempat saya bertugas begitulah adanya. Prosesi yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Kepercayaan timbal balik antara guru dan orang tua.

Ekosistem pendidikan yang terbangun masih tradisional, tapi Hari Pertama Sekolah di kampung saya, punya cukup banyak bonus dengan melimpahnya ruang interaksi yang terjadi dalam masyarakat. Misalnya, acara-acara peribadatan, sekolah minggu, gotong royong antar warga, acara-acara adat, dan arena-arena guyub yang lain. Meski belum tertata dengan baik, hubungan-hubungan komunikasi itu cukup memberikan dampak bagi stabilnya situasi pendidikan di kampung.

Dan, jangan heran ketika selama setahun, di daerah terpencil sana, hanya sekali saya temukan anak-anak saya berkelahi di sekolah, catatan bolos sekolah yang minim, dan perpustakaan sekolah yang selalu ramai hingga pukul enam sore.   

Mewujudkan Ruang Komunikasi

Semenjak Kemdikbud mengeluarkan edaran mengenai kampanye gerakan Hari Pertama Sekolah, saya turut bergembira. Dari awal, saya punya keyakinan gerakan ini akan memiliki dampak positif kepada banyak orang. Terkhusus dalam sebuah ekosistem pendidikan.

Barangkali yang selama ini kita kenal adalah pembagian buku rapor. Ketika satu tahun siklus pembelajaran selesai, maka para orang tua datang ke sekolah untuk menerima hasil belajar anak ataupun perwaliannya selama dua semester berjalan.

Hari Pertama Sekolah ingin membuktikan hal yang sebaliknya. Justru di hari yang bersejarah bagi anak-anak, ketika pertama kali mereka mengenakan seragam dan masuk di sekolah baru, orang tua berbondong-bondong ke sekolah dalam penerimaan siswa baru sekaligus merayakan the first day of school bersama jagoan-jagoan cilik mereka. Mereka bahkan datang dengan menunjukkan antusiasme yang besar.

Kampanye ini jelas-jelas membahagiakan semua pihak, utamanya orang tua dan wali anak. Betapa tidak. Anak-anak memiliki titik start yang sama. Sama-sama siswa baru. Jika tidak ada halangan berarti, akan ada pola positif yang terbangun sejak dini antara kepala sekolah, guru, murid, manajemen sekolah, dan orang tua. 

Paling minimal, gerakan hari pertama sekolah ini menghindarkan para orang tua dari raut wajah cemwas-cemas harap karena sang anak tidak memenuhi harapan di sekolah saat pembagian buku laporan akhir semester. Sehingga, mengantar anak di Hari Pertama Sekolah memberikan kesempatan semua orang tua untuk datang dengan sinar muka yang cemerlang dan bahagia.

Saya merasa, ini adalah sebuah perayaan yang universal. Dan sekali lagi, saya turut berbahagia sebab interaksi yang sehat antara guru, murid, dan orang tua pada akhirnya bisa dimulai.   

Di pelbagai sosial media, di media-media online dan offline, kebahagiaan ini menyebar dan menjalar. Orang-orang turut senang dengan riuh dan kerepotan di hari perdana anak-anak ini mengenakan seragam sekolah. Foto-foto yang disajikan juga tak kalah menariknya. Sangat human.

Memang, gerakan ini masih terbatas pada euforia di hari pertama sekolah. Tapi, saya menyimpan keyakinan bahwa gerakan ini bisa terus berlanjut dengan mulainya komunikasi yang intens dalam ekosistem pendidikan. Kuncinya, barangkali terletak pada guru dan orang tua.

Nicolas Sledge menegaskan adanya minggu pertama yang kritis yang pasti terjadi di sekolah. Salah satu hal yang utama yang wajib dilakukan adalah, ‘connecting with parents’. Misalnya, di hari pertama sekolah, ia memberikan sebuah general letter kepada wali murid. pesan itu melingkupi aturan-aturan di sekolah, bahan-bahan pelajaran yang penting, dan segala bentuk aktivitas yang akan di selenggarakan sepanjang satu siklus periode pembelajaran.

Pada intinya, banyak hal sebenarnya bisa kita lakukan. Diantaranya, misalnya, saya membayangkan adanya Festival Hari Pertama Sekolah yang menggantikan pekan orientasi sekolah. Perayaan MOS diganti menjadi festival.

Dalam minggu tersebut, orang tua, guru, siswa dan manajemen sekolah menyusun dan membangun ruang-ruang komunikasi untuk siklus tahunan pembelajaran yang lebih baik dan demi membangun individu yang cemerlang secara karakter dan kognisi.

Bangunan komunikasi antara guru, murid, dan orang tua sangat layak untuk dipertahankan demi meminimalisir masalah yang terjadi di kemudian hari. Dan, ruang-ruang interaksi ini menjadi medium kontrol yang sangat efektif bagi anak-anak untuk membimbing mereka menuju karakter yang baik.

Peran orang tua penting mengingat membina dan membimbing anak-anak sehingga memiliki karakter yang baik adalah kewajiban yang dibebankan lebih besar. Jika hitungannya sepertiga waktu dalam sehari anak berada di sekolah,  maka ruang interaksi yang kosong –duapertiga hari- inilah yang harus ditindaklanjuti oleh orang tua dan masyarakat untuk menjaga anak-anak. Yang juga berarti, turut menjaga generasi masa depan bangsa.

Dan, pada akhirnya, saya yakin kampanye ini adalah permulaan yang cerdas untuk meruwat komunikasi yang seimbang dan meningkatkan peluang interaksi positif di antara elemen-elemen dalam sebuah ekosistem pendidikan. Semoga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun