Mohon tunggu...
Mujahidil Anshari
Mujahidil Anshari Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Problematika Penyebutan Non-Muslim dan Kafir di Indonesia

6 Maret 2019   17:03 Diperbarui: 2 April 2019   00:21 540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di dalam al-Qur'an, kekafiran identik dengan tindakan penyangkalan secara sadar, tanpa pengaruh tekanan dari luar. Iblis dan Fir'aun, misalnya, disebut kafir karena adanya penolakan dan penyangkalan terhadap kebenaran yang telah diyakini oleh keduanya (aba wa-stakbara). Ini didukung juga oleh kenyataan bahwa al-Qur'an menggambarkan betapa kaum kafir Quraisy jika ditanya siapakah pencipta semesta, nisacaya mereka akan menjawab, "Allah".

Artinya, penyamatan atribut kafir kepada mereka bukan karena mereka tak yakin atas ketuhanan Allah. Lihat (QS. al-Zumar [39]:38). Demikian pula dengan keyakinan mereka terhadap kerasulan Muhammad SAW. (QS. al-Baqarah [2]:88). Fakta bahwa orang-orang kafir sesungguhnya sudah percaya pada kenabian Muhammad SAW. dikuatkan antara lain oleh sebuah riwayat yang dilaporkan oleh Ibn Hisyam (w. 213 H) dalam sirah-nya, di bawah subbab Alladzina istama'u ila qira'ah al-Nabi saw. Dalam riwayat itu disebutkan bahwa Abu Sufyan, Abu Jahal, dan Akhnaf ibn Syuraiq, ketiga-tiganya secara bersamaan dan tanpa sepengetahuan satu sama lain menyelinap dan mengendap-endap di sekitar rumah Nabi Muhammad, demi menyimak bacaan al-Qur'an oleh beliau.

Mereka terkesima, dan di lubuk hati terdalam mereka tak dapat menyangkal kebenaran firman yang dibacakan oleh Muhammad itu. Namun bukan karena hati kecil mereka menolak al-Qur'an, tetapi lebih karena vested interest (kepentingan diri) demi mempertahankan posisi sosial dan politik mereka. Mereka disebut kafir karena mereka sesungguhnya telah mengakui kebenaran Islam, namun menolaknya karena alasan-alasan ekonomi, sosial, dan politik. Penolakan dan penyangkalan atas ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad sesungguhnya didorong oleh motif mempertahankan pengaruh dan kelas sosial. Artinya, faktor ekonomi dan politik-dan bukan keyakinan teologis-yang menjadi alasan dibalik penyangkalan terhadap Islam. Mereka tetap bertahan dengan agama Arab Jahiliyah bukan karena percaya dan mengimaninya sebagai sebuah kebenaran, namun lebih karena sistem purba itu menguntungkannya secara politik dan sosial.

Maka, kesimpulan sementara: jika seseorang tidak menerima Islam karena katidaktahuan, atau karena argumen-argumen tentang Islam yang sampai kepadanya tidak meyakinkankannya, orang-orang seperti ini tak serta merta disebut kafir. Imam Ja'far Shadiq berkata : "Sekelompok orang tidaklah kafir bila mereka tidak tahu (jahil), diam, dan tidak menentang." Imam Ghazali juga mengutarakan pandangan serupa. Menurutnya, orang-orang non-Muslim yang tidak sampai kepadanya dakwah tidak dapat disebut kafir. Kategori ini dipahami sebagai orang-orang yang tidak pernah mendengar Islam, atau Islam tak sampai kepada mereka dalam bentuk yang membuat mereka yakin.

Demikian pula pandangan Rasyid Ridha di dalam Tafsir al-Manar , dia secara khusus menekankan bahwa orang (kafir) yang amalnya sia-sia hanyalah "Mereka yang telah sampai dakwah Nabi Muhammad secara meyakinkan, tapi tetap keras kepala tak mau menerimanya".

Dia pun dengan jelas menyatakan bahwa banyak non-Muslim di zamannya sesungguhnya tak pernah benar-benar mengetahui mengenai Islam dengan pengetahuan yang benar dan dapat meyakinkan mereka. Bahkan, Ibn Taimiyah dalam Majmu' Fatawa-nya berpendapat, seseorang tidak dapat dikafirkan sampai tegak kepadanya hujjah (argumentasi yang meyakinkan).

Berdasarkan argumentasi di atas, maka non-Muslim yang tulus dalam memilih dan

meyakini keyakinannya tidak serta-merta dapat disebut kafir, yakni menutupi  keyakinannya akan kebenaran.

Menurut NU istilah kafir tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan (Muwatthin) pada suatu negara dan bangsa, maka setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata hukum sehingga yang ada adalah nonmuslim bukan kafir. Sebagai dasar negara, Pancasila berhasil menyatukan rakyat Indonesia yang plural, baik dari sudut etnis dan suku maupun agama dan budaya.

Di bawah payung Pancasila, seluruh warga negara adalah setara, yang satu tak lebih unggul dari yang lain berdasarkan suku, etnis, bahkan agama. Hal ini selaras dengan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW dengan membuat Piagam Madinah untuk menyatukan seluruh penduduk Madinah. Piagam Madinah itu menegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan bangsa/umat, yang berdaulat di hadapan bangsa/umat lainnya, tanpa diskriminasi.

Sebagai bangsa yang besar dan berbagai keberagaman dan perbedaan yang ada maka sepatutnya kita sebagai warga negara jangan sampai ada pendeskriminasian antar umat beragama khususnya, kita harus bahu-membahu dalam mewujudkan bangsa yang damai, bangsa yang aman tentunya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun