Survei politik bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjadi cerminan aspirasi rakyat, membantu memperjelas pemimpin yang diinginkan masyarakat beserta ciri-cirinya. Di sisi lain, survei rawan dimanipulasi untuk mempengaruhi sikap pemilih, memicu keributan dengan narasi kemenangan semu.
Dinamika politik Indonesia menjelang Pilpres 2024 menjadi contoh dilema ini. Coba kita bayangkan, Dahulu, Anies Baswedan tergabung dalam tim sukses Jokowi, kemudian Ganjar Pranowo menyusul di periode kedua menjadi bagian dari tim sukses Jokowi. Anies pernah didukung Prabowo dalam pilkada DKI melawan Ahok yang didukung Jokowi. Menariknya, Jokowi kini membantu Prabowo melawan Anies dan Ganjar. Pergeseran ini kok hanya terbatas dan ada pada lingkaran yang sama ?. Tentu bisa dipastikan bahwa mereka dipilih tidak lepas dari hasil survei elektabilitas dan popularitas yang dieksplorasi oleh lembaga survei. Nampaknya calon kandidat cenderung berasal dari lingkaran politik tertentu yang sudah mapan dan memiliki basis massa, bukan dari luar lingkaran tersebut.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kandidat presiden selalu berasal dari politisi mapan:
- Akses ke sumber daya partai politik yang sudah established untuk mobilisasi massa dan aliansi politik.
- Popularitas di masyarakat berkat exposure media massa sebagai politisi. Calon dari luar sulit dikenal masyarakat luas.
- Jaringan politik yang luas untuk memperoleh dukungan parpol dan elit politik. Politikus baru belum memiliki jaringan yang kuat.
- Elektabilitas tinggi di survey karena sudah dikenal masyarakat, sehingga dianggap punya peluang menang besar.
Oleh karena itu, meski ada tensi dan persaingan internal, pilihan kandidat presiden masih terbatas pada nama-nama yang sudah familiar di lingkaran politik tertentu. Hal ini menghambat munculnya figur-figur baru di luar lingkaran kekuasaan yang ada.
Selanjutnya, survei politik membantu memetakan kekuatan politik, mengukur tingkat dukungan terhadap kandidat, dan memprediksi peluang kemenangan. Hasil survei menjadi acuan bagi partai politik dalam menentukan koalisi dan mengusung kandidat.
Namun, survei tak luput dari manipulasi. Data dan metodologi survei bisa diubah untuk mendongkrak elektabilitas kandidat tertentu, atau menjatuhkan lawan politik. Narasi kemenangan prematur digembar-gemborkan, memicu polarisasi dan keributan antar pendukung.
Dilema survei politik ini perlu disikapi dengan bijak. Masyarakat harus kritis terhadap hasil survei, tidak menelan mentah-mentah data dan interpretasi yang disajikan. Penting untuk mengecek kredibilitas lembaga survey, metodologi yang digunakan, dan margin of error.
Di sisi lain, lembaga survei perlu menjaga integritas dan profesionalitas. Transparansi data dan metodologi menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik.
Berikut beberapa langkah untuk meminimalisir manipulasi survei politik:
- Penguatan regulasi: Pemerintah perlu memperkuat regulasi terkait survei politik, termasuk standar metodologi dan publikasi data.
- Edukasi publik: Masyarakat perlu di edukasi tentang metodologi survei dan cara membaca hasil survey dengan kritis.
- Keterlibatan multi-stakeholder: Perlu melibatkan berbagai pihak, seperti akademisi, media, dan organisasi masyarakat sipil dalam mengawasi dan mengevaluasi kinerja lembaga survei.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan survei politik dapat menjadi instrumen demokrasi yang sehat, membantu rakyat dalam memilih pemimpin yang tepat, tanpa terjebak dalam manipulasi dan narasi kemenangan semu.
Kesimpulan: