Mohon tunggu...
Mujab Mujab
Mujab Mujab Mohon Tunggu... Buruh - Wahana menuangkan karya dan gagasan

Saya aktif di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Selain itu aktif di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sejak tahun 2003 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hegemoni atas Petani, Kerusakan Lahan: Ancaman Kedaulatan Pangan

21 Oktober 2024   17:56 Diperbarui: 21 Oktober 2024   18:23 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani mengerjakan sawah, doc.pribadi

Indonesia, dengan bentangan luas lahan subur dan iklim yang mendukung, seharusnya menjadi negara yang mandiri secara pangan. Namun, realitas yang dihadapi saat ini menunjukkan gambaran yang jauh dari harapan. Petani kecil yang dahulu menjadi tulang punggung bangsa kini terjebak dalam sistem yang merugikan, mengandalkan input kimia dan bergantung pada korporasi besar. Krisis lahan pertanian semakin akut, produktivitas menurun, dan kedaulatan pangan terancam.

Salah satu masalah terbesar dalam sektor pertanian Indonesia saat ini adalah kerusakan lahan yang diakibatkan oleh penggunaan input kimia seperti pupuk sintetis, pestisida, dan herbisida. Sejak awal Revolusi Hijau, pemerintah bersama korporasi besar telah mempromosikan penggunaan bahan-bahan kimia ini sebagai solusi untuk meningkatkan hasil panen. Sayangnya, solusi ini datang dan harus dibayar dengan harga yang terlalu mahal.

Input kimia memang memberikan peningkatan produksi dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang, tanah menjadi semakin rusak. Struktur kimia, fisika, dan biologi tanah berubah secara drastis. Jasad renik, yang seharusnya membantu menjaga kesuburan tanah, menghilang karena racun yang terus menerus diberikan pada lahan. Tanah yang dulunya subur berubah menjadi tanah yang tergantung pada input kimia, dan ketika bahan kimia ini dihentikan, produktivitas pun anjlok. Tanah seperti ini ibarat manusia yang telah kecanduan obat-obatan, kehilangan kemampuan alaminya untuk berkembang.

Jika lahan terus menerus diberikan input kimia tanpa henti, kondisi kesuburan tanah akan semakin menurun. Hasil akhirnya adalah degradasi tanah yang tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pada kemampuan Indonesia untuk menghasilkan pangan yang cukup bagi rakyatnya. Petani kecil yang terjebak dalam siklus ini tidak mampu keluar karena mereka telah bergantung pada sistem yang dipaksakan oleh korporasi besar.

Ketergantungan Petani pada input eksternal pertanian

Selama beberapa dekade terakhir, petani di Indonesia semakin tergantung pada korporasi besar yang menyediakan bibit, pupuk, dan pestisida. Ketergantungan ini tidak hanya terjadi pada input pertanian, tetapi juga dalam hal pola pikir dan paradigma. Korporasi-korporasi besar, dengan kekuatan finansial dan akses ke teknologi, telah menghegemoni pikiran petani, membuat mereka percaya bahwa bertani tanpa input kimia adalah mustahil. Padahal, nenek moyang kita telah bertani selama ratusan tahun tanpa bahan-bahan sintetis ini.

Akibatnya, paradigma petani bergeser. Mereka tidak lagi percaya pada metode pertanian tradisional atau organik yang ramah lingkungan. Sebaliknya, mereka yakin bahwa produktivitas tinggi hanya bisa dicapai melalui penggunaan input kimia yang mahal. Ini adalah keterpurukan mental yang sama berbahayanya dengan kerusakan fisik lahan. Petani telah kehilangan kepercayaan pada kemampuan mereka sendiri untuk mengelola lahan secara mandiri, dan ini adalah kemenangan terbesar bagi korporasi besar.

Dampaknya adalah ekosistem pertanian yang sehat seharusnya didasarkan pada keragaman hayati, tanah yang subur, dan keseimbangan alamiah antara tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Namun, sistem pertanian berbasis input kimia telah menghancurkan ekosistem ini. Monokultur, atau penanaman satu jenis tanaman secara berulang-ulang di lahan yang sama, semakin mengikis keanekaragaman hayati. Hama menjadi lebih mudah berkembang, dan pestisida menjadi satu-satunya solusi, yang justru memperparah kerusakan.

Dalam konteks Indonesia, lahan-lahan pertanian yang luas memiliki potensi besar untuk menjadi penopang kedaulatan pangan. Namun, dengan degradasi lahan yang semakin parah, potensi ini semakin mengecil. Ketergantungan pada input kimia juga membuat pertanian kita rentan terhadap guncangan pasar global. Jika suatu saat harga pupuk atau pestisida melonjak tajam, atau jika rantai pasok terganggu oleh konflik internasional, maka sistem pangan kita akan menghadapi krisis besar.

Kebijakan yang Mendukung Korporasi dan Mengabaikan Petani Kecil

Salah satu ironi terbesar dalam pertanian Indonesia adalah bagaimana kebijakan pemerintah lebih mendukung korporasi besar daripada petani kecil. Subsidi pupuk kimia yang terus diberikan, meskipun telah terbukti merusak tanah, adalah salah satu contoh nyata. Alih-alih mendorong pertanian organik yang ramah lingkungan, pemerintah malah terus bergantung pada model pertanian industrial yang dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.

Akibatnya, petani kecil yang ingin beralih ke metode pertanian organik tidak mendapatkan dukungan. Mereka harus berjuang sendiri dalam menghadapi tantangan pasar dan teknologi. Di sisi lain, korporasi besar dengan mudah mempengaruhi kebijakan pemerintah melalui lobi dan akses ke pengambil keputusan. Ketidakadilan ini sangat mencolok, dan jika terus dibiarkan, maka potensi Indonesia untuk mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan akan semakin hilang.

Ancaman dan Tantangan bagi Pertanian Indonesia

Indonesia menghadapi ancaman serius dalam hal kedaulatan pangan. Selain kerusakan lahan dan ketergantungan pada input kimia, ada ancaman lain yang juga perlu diperhatikan, seperti perubahan iklim yang menyebabkan ketidakpastian cuaca dan pola musim yang tidak menentu. Perubahan iklim ini semakin memperparah krisis pertanian, terutama di wilayah-wilayah yang rentan terhadap kekeringan atau banjir.

Selain itu, urbanisasi yang semakin cepat juga menjadi tantangan besar. Lahan-lahan pertanian di dekat kota besar semakin berkurang, digantikan oleh pembangunan perumahan dan industri. Migrasi tenaga kerja muda dari desa ke kota juga membuat sektor pertanian kekurangan tenaga kerja yang kompeten. Regenerasi petani menjadi masalah serius, karena generasi muda lebih memilih bekerja di sektor lain yang dianggap lebih menguntungkan.

Dengan segala tantangan yang ada, kita tidak bisa menutup mata terhadap potensi besar yang hilang dari sektor pertanian Indonesia. Jika lahan-lahan pertanian terus mengalami degradasi, dan jika kebijakan pemerintah terus mendukung korporasi besar alih-alih petani kecil, maka Indonesia akan semakin jauh dari cita-cita kedaulatan pangan.

Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi negara yang mandiri secara pangan. Dengan diversifikasi tanaman, adopsi metode pertanian organik yang ramah lingkungan, dan pemanfaatan teknologi yang tepat, kita sebenarnya bisa mengurangi ketergantungan pada input kimia dan korporasi besar. Namun, ini membutuhkan revolusi besar dalam pola pikir, kebijakan, dan praktik pertanian.

Seruan untuk Bertindak: Masa Depan yang Berkelanjutan

Saat ini, kita berada di persimpangan jalan. Apakah kita akan terus membiarkan korporasi besar dan input kimia mendominasi pertanian kita, atau kita akan berani beralih ke model pertanian yang lebih berkelanjutan dan adil? Kita perlu bertindak sekarang, sebelum kerusakan menjadi terlalu parah untuk diperbaiki.

Dukungan dari pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan harus diarahkan pada pengembangan pertanian organik dan berkelanjutan. Kita tidak bisa terus mengabaikan kenyataan bahwa model pertanian berbasis input kimia adalah bom waktu yang akan meledak jika tidak segera dihentikan.

Indonesia membutuhkan perubahan, dan perubahan itu harus dimulai dari kesadaran kita bahwa pertanian yang sehat adalah kunci bagi masa depan yang berkelanjutan. Kita harus menuntut kebijakan yang adil bagi petani kecil dan mendukung ekosistem pertanian yang seimbang, ramah lingkungan, dan mampu menyediakan pangan yang cukup bagi seluruh rakyat./jb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun