lahan subur dan iklim yang mendukung, seharusnya menjadi negara yang mandiri secara pangan. Namun, realitas yang dihadapi saat ini menunjukkan gambaran yang jauh dari harapan. Petani kecil yang dahulu menjadi tulang punggung bangsa kini terjebak dalam sistem yang merugikan, mengandalkan input kimia dan bergantung pada korporasi besar. Krisis lahan pertanian semakin akut, produktivitas menurun, dan kedaulatan pangan terancam.
Indonesia, dengan bentangan luasSalah satu masalah terbesar dalam sektor pertanian Indonesia saat ini adalah kerusakan lahan yang diakibatkan oleh penggunaan input kimia seperti pupuk sintetis, pestisida, dan herbisida. Sejak awal Revolusi Hijau, pemerintah bersama korporasi besar telah mempromosikan penggunaan bahan-bahan kimia ini sebagai solusi untuk meningkatkan hasil panen. Sayangnya, solusi ini datang dan harus dibayar dengan harga yang terlalu mahal.
Input kimia memang memberikan peningkatan produksi dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang, tanah menjadi semakin rusak. Struktur kimia, fisika, dan biologi tanah berubah secara drastis. Jasad renik, yang seharusnya membantu menjaga kesuburan tanah, menghilang karena racun yang terus menerus diberikan pada lahan. Tanah yang dulunya subur berubah menjadi tanah yang tergantung pada input kimia, dan ketika bahan kimia ini dihentikan, produktivitas pun anjlok. Tanah seperti ini ibarat manusia yang telah kecanduan obat-obatan, kehilangan kemampuan alaminya untuk berkembang.
Jika lahan terus menerus diberikan input kimia tanpa henti, kondisi kesuburan tanah akan semakin menurun. Hasil akhirnya adalah degradasi tanah yang tidak hanya berdampak pada lingkungan tetapi juga pada kemampuan Indonesia untuk menghasilkan pangan yang cukup bagi rakyatnya. Petani kecil yang terjebak dalam siklus ini tidak mampu keluar karena mereka telah bergantung pada sistem yang dipaksakan oleh korporasi besar.
Ketergantungan Petani pada input eksternal pertanian
Selama beberapa dekade terakhir, petani di Indonesia semakin tergantung pada korporasi besar yang menyediakan bibit, pupuk, dan pestisida. Ketergantungan ini tidak hanya terjadi pada input pertanian, tetapi juga dalam hal pola pikir dan paradigma. Korporasi-korporasi besar, dengan kekuatan finansial dan akses ke teknologi, telah menghegemoni pikiran petani, membuat mereka percaya bahwa bertani tanpa input kimia adalah mustahil. Padahal, nenek moyang kita telah bertani selama ratusan tahun tanpa bahan-bahan sintetis ini.
Akibatnya, paradigma petani bergeser. Mereka tidak lagi percaya pada metode pertanian tradisional atau organik yang ramah lingkungan. Sebaliknya, mereka yakin bahwa produktivitas tinggi hanya bisa dicapai melalui penggunaan input kimia yang mahal. Ini adalah keterpurukan mental yang sama berbahayanya dengan kerusakan fisik lahan. Petani telah kehilangan kepercayaan pada kemampuan mereka sendiri untuk mengelola lahan secara mandiri, dan ini adalah kemenangan terbesar bagi korporasi besar.
Dampaknya adalah ekosistem pertanian yang sehat seharusnya didasarkan pada keragaman hayati, tanah yang subur, dan keseimbangan alamiah antara tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Namun, sistem pertanian berbasis input kimia telah menghancurkan ekosistem ini. Monokultur, atau penanaman satu jenis tanaman secara berulang-ulang di lahan yang sama, semakin mengikis keanekaragaman hayati. Hama menjadi lebih mudah berkembang, dan pestisida menjadi satu-satunya solusi, yang justru memperparah kerusakan.
Dalam konteks Indonesia, lahan-lahan pertanian yang luas memiliki potensi besar untuk menjadi penopang kedaulatan pangan. Namun, dengan degradasi lahan yang semakin parah, potensi ini semakin mengecil. Ketergantungan pada input kimia juga membuat pertanian kita rentan terhadap guncangan pasar global. Jika suatu saat harga pupuk atau pestisida melonjak tajam, atau jika rantai pasok terganggu oleh konflik internasional, maka sistem pangan kita akan menghadapi krisis besar.
Kebijakan yang Mendukung Korporasi dan Mengabaikan Petani Kecil
Salah satu ironi terbesar dalam pertanian Indonesia adalah bagaimana kebijakan pemerintah lebih mendukung korporasi besar daripada petani kecil. Subsidi pupuk kimia yang terus diberikan, meskipun telah terbukti merusak tanah, adalah salah satu contoh nyata. Alih-alih mendorong pertanian organik yang ramah lingkungan, pemerintah malah terus bergantung pada model pertanian industrial yang dikuasai oleh segelintir perusahaan besar.