Mohon tunggu...
Mujab Mujab
Mujab Mujab Mohon Tunggu... Buruh - Wahana menuangkan karya dan gagasan

Saya aktif di Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah. Selain itu aktif di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah sejak tahun 2003 hingga sekarang.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Aspek Kultural dalam Bertani

2 Juli 2020   10:16 Diperbarui: 26 Juli 2020   12:59 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertani bukan sekedar mengisi waktu luang. Menjadi petani tidak terbatas sebagai profesi. Namun bertani dan petani terkait dengan kultur, budaya bahkan keyakinan seseorang. Hal ini yang melandasi para petani tetap bertani apapun hasilnya dan apapun resiko yang dihadapi. 

Menjadi petani sejati adalah darah daging dan aliran darahnya, dan menjadi jalan hidupnya. Dari aspek kultur dan budaya inilah sejarah mencatatkan bahwa petani dan bertani mengantarkan kemajuan peradaban sebuah bangsa, membangun ilmu pengetahuan dan kerajaan kehidupan hingga kini.

Ditinjau dari aspek komunitas dan masyarakat petani memiliki hubungan sangat erat. Di masyarakat tani komunitas dan masyarakat terjalin erat. Mereka memiliki ikatan emosional dan kultural kuat karena sejumlah aspek, mulai dari merencanakan pengolahan lahan hingga memanen hasil tani dan mengolahnya. 

Saat hendak mulai menggarap lahan misalnya petani akan memanjatkan doa selamatan sebagai dimulainya proses bertani. Berdoa biasanya dilakukan bersama tetangga dan orang di sekelilingnya.

Dalam mengelola sumberdaya yang terbatas juga perlu kerjasama dan pengelolaan bersama komunitas mereka. Air untuk pertanian yang terbatas tentu akan digunakan bersama sama agar semua petani tercukupi kebutuhan airnya. 

Ada aspek budaya dalam pengelolaan air. Ulu ulu, atau subak sebagai contoh lain dalam system pengelolaan air untuk pertanian. 

Begitu juga di Baduy, di masyarakat Samin, dan daerah daerah lain di Nusantara. Semua system ini terbangun dan terjaga karena kekuatan komunitas. Mereka menyepakati bahwa hukum adat mengelola air, termasuk penggunaan dan menjaga kelestariannya adalah komitmen bersama.

Petani juga memiliki kultur dalam menjaga kedaulatan pangan melalui upaya upaya menjaga ketersediaan pangan dan cara penyimpanan hingga penggunaannya. Ketika panen melimpah para petani memiliki system menyimpan pangan baik sebagai cadangan bahan pangan hingga untuk bibit yang ditanam kemudian. 

Masyarakat Nusa Tenggara memiliki uma lengge yaitu semacam lumbung pangan untuk menyimpan hasil panen mereka seperti padi, jagung, sorgum, dan lain sebagainya. 

Orang Baduiy memiliki Leuit semacam lumbung untuk menyimpan padi hasil bertani. Begitu juga dengan daerah daerah lain di Nusantara, memiliki kultur dan budaya dalam memelihara ketersediaan, ketahanan dan kedaulatan pangan sesuai dengan budaya masing masing.

Masih dari aspek kultural, dalam dunia pertanian dikenal tradisi mengenali cuaca, iklim, perubahan angina dan pembagian waktu dalam setahun. Di Jawa ada Pranata Mangsa. Pranata Mangsa ini menggunakan kalender matahari, berkebalikan dengan penanggalan jawa yang menggunakan kalender bulan. 

Dunia pertanian menjadi fokus perhatian penting para penguasa kala itu karena dengan pertanian yang kuat maka rakyat sejahtera, tidak terjadi pemberontakan karena perut lapar, dan kerajaan juga semakin bisa membangun kekuatannya dari aspek ekonomi. Tradisi mengenali cuaca dan iklim untuk pertanian sesuai dengan kearifan local ini juga ada di daerah daerah lain di Nusantara.

Dari aspek keyakinan bertani sangat erat kaitannya dengan religiusitas sebuah komunitas, tatanan social, pribadi masing masing petani hingga menjadi semangat melakukan gerakan perlawanan. 

Pemberontakan petani di Cilegon di tahun seribu delapan ratusan merupakan contoh petani bersama pesanntren bisa mengorganisir diri dan melakukan pemberontakan. 

Mastuhu meneliti tentang pesantren dan memasukkan gerakan pesantren yang melibatkan para petani. Ini salah satu indikasi bahwa petani memiliki konteks budaya religiusitas yang kuat./jb

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun