Penulis : Mujahidin (Mahasiswa FKIP PPKN Unmul dan Wakabid politik DPC GMNI Samarinda )
Fenomena pandemi covid 19 yang hari ini semakin mewabah di negeri ini tak dapat kita nafikkan bahwasannya, persoalan pandemi ini cukup berdampak signifikan terhadap bidang-bidang kehidupan berbangsa dan bernegara baik dari aspek ekonomi,politik,hukum ,maupun sosial kehidupan masyarakat di negara Indonesia
Di tahun 2020 hingga 2021 diskursus mengenai ruang publik diwarnai bentuk kecemasan masyarakat sipil dan akademisi atas dampak yang diberikan virus pandemi covid 19 yang dianggap dapat mempercepat regresi demokrasi di Indonesia. Kekhawatiran ini diakibatkan oleh sebab tren gelombang kemunduran demokrasi di sejumlah negara yang terakselerasi oleh pandemi. Sejumlah negara kemudian melanggar standarisasi demokrasi sebagai dalih yang kemudian di gunakan untuk merespons pengandalian virus Covid-19.
Dalam bahasa Jerman sendiri terdapat sebuah adagium yang mengutip sebagai berikut, "Die Stunde der Krise kann auch eine Stunde der Autoritren werden" "Masa krisis dapat menjadi momentum bagi para diktator". Pernyataan ini, tampaknya sedang mengancam tatanan demokrasi politik global, termasuk Indonesia sendiri yang saat ini dilanda krisis selama masa pandemi ini berlangsung .
Krisis demokrasi di Indonesia sendiri cukup terlihat dalam kondisi di masa pandemi saat ini dimana terjadi sebuah polarisasi yang kemudian mendegradasi secara esensial dari tujuan etis nilai-nilai berdemokrasi .salah satu hal, yang kemudian terjadi adalah kurang terakomodirnya suara dari kelompok-kelompok marjinal .kemudian kebijakan/aturan yang harusnya didesain untuk kepentingan publik menjadi kurang responsif terhadap aspirasi masyarakat secara keseluruhan .
ini pun juga berdampak terhadap indeks perkembangan demokrasi di negara Indonesia saat ini berdasarkan informasi dari the Pandemic Democratic Violations Index, yang disusun Varieties of Democracy Institute, Swedia, berdasar data Maret-September 2020, Indonesia mendapat skor 0,25 atau terdapat sejumlah pelanggaran, tetapi tak berskala besar (skor lebih dari 0,3). Indonesia berada di peringkat 61 dari 144 negara yang dikaji.
Hal ini pun juga diperparah selama masa pendemi ini terjadi di Indonesia ada sebuah kecenderungan dimana terjadinya penyempitan ruang kebebasan sipil untuk kemudian masyarakat untuk menyampaikan ketidaksetujuannya.Padahal sejatinya ruang kebebasan sipil sendiri menjadi suatu instrumen vital dalam sebuah negara demokrasi yang menjadi bentuk komunikasi politik untuk menghasilkan suatu konsensus politik untuk kebaikan bersama (common good).dalam realitas kondisi itu pun menciptakan suatu bentuk ketidakpercayaan vertikal antara masyarakat dan insitusi Negara .
Hal ini dibuktikan kemudian dengan terjadinya penguatan secara eksesif kekuasaan negara termasuk untuk kemudian melakukan pengawasan yang menciutkan kebebasan sipil. dengan dalih kesehatan masyarakat kemudian ini menjadi instrumen baru untuk kemudian negara melakukan pendekatan yang represif. Padahal secara inheren pandemi bukanlah alasan kemudian kekuasaan dalam hal ini negara untuk kemudian mengabaikan prosedural konsultasi publik dan bertindak sepihak lebih unggul.
Francis Fukuyama dalam tesisnya Political Order and Political Decay (2014) mengingatkan pentingnya keseimbangan tiga hal, yakni negara kuat, penegakan hukum, dan akuntabilitas.Dalam hal ini, negara yang kuat tidak dilihat dari bentuk sikap yang represif namun yang menjadi tolak ukurnya adalah ketertiban sosial dan mampu memberikan pelayanan kepada warga negaranya .selain itu negara juga harus tetap bekerja dalam batas-batas hukum yang berlaku bagi seluruh warga negara dan tidak kemudian memberikan keistimewaan bagi elite tertentu.sementara akuntabilitas berarti adalah pemerintahan yang progresif dan responsif akan seluruh kepentingan masyarakatnya .
Namun problem pokok untuk kemudian menjalankan instrumen diatas semua kembali berakar pada tentang kualitas pemerintahan, dan ini menjadi pembeda antara negara yang bekerja efektif melawan pandemi.dan sejatinya pandemi pun bukanlah suatu landasan rasional yang kemudian menjadi dasar alasan terjadinya abnormaitas demokrasi di negeri ini.yang kemudian menjadi akarnya adalah murni dari sumber daya kekuasaan yang mengendalikan negara hari ini dalam hal ini ,mereka gagal dalam hal penciptaan prioritas perlindungan kehidupan berbangsa dan bernegara selama pandemi ini dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat yang menjadi aspek vital penghidupan sebuah negara demokrasi .
Dalam konsep Michel Foucault (1978), ia menegaskan bahwa negara modern tidak hanya berkutat pada suatu instrumen subyek legal sebagai sasaran hukuman untuk penegasan kekuasaan. Demokrasi telah kemudian membalik posisi kekuasaan untuk kemudian memberikan negara sebuah beban tanggung jawab untuk kemudian menjadikan instumen pemeliharaan kehidupan sebagai instrumen vital.selama pandemi ini bukan hanya semata-mata kita kemudian mengukur berapa banyak kemudian anggaran yang dialokasikan untuk kemudian mengatasi persoalan di sektor yang dimaksud ,yang menjadi instrumen vital adalah seberapa tinggi komitmen dan tanggung jawab pemerintah dalam pemeliharaan hidup di negeri ini .
Pemerintahan dalam hal ini kemudian harus menjadikan basis legitimasi rakyat sebagai pertimbangan selama pandemi ini guna menumbuhkan kepatuhan warga untuk menaati aturan, dan hal yang sama memberi kontribusi pada perlindungan dari kemungkinan dampak lebih parah pandemi.proses pelaksanaan demokrasi selama pandemi tidak harus diwujudkan melalui suatu proses perluasan kekuasaan secara eksesif.hal yang kemudian harus dilakukan adalah bagaimana mengendalikan laju pemerintahan, tetapi tetap menekankan komitmen pada politik kehidupan yang demokratis .Hal ini dilakukan untuk menghindarkan demokrasi untuk tidak menjadi suatu proses mekanistis.
Model pendekatan Demokrasi deliberatif sebagai solusi alternatif penguatan demokrasi
Berbicara persoalan demokrasi tentu selalu berkaitan dengan penguatan dan pelemahannya. Penguatan demokrasi berkaitan dengan memudarnya atau hilangnya hal-hal yang melemahkannya. Sedangkan berbicara Pelemahan demokrasi selalu ditandai pada kondisi suatu negara yang kembali pada kondisi sistem yang otoriter (authoritarian resurgence) dan kedua, mengalami kondisi yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai Post-Democracy.
Selama pandemi ini terlalu banyak kemudian dialektika ide atau kepentingan dari penguasa yang kontradiksi terhadap kebutuhan masyarakat selama pandemi.hal ini kemudian didasarkan pada kurangnya nutrisi pertimbangan publik yang kemudian diserap dalam kebijakan-kebijakan .dalam hal ini, adalah undang-undang strategis untuk mengatasi pandemi covid 19 ini.Seakan-akan kebijakan undang-undang menjadi obat mujarab untuk menyelesaikan semua persoalan yang ada. Padahal menurut John Locke, undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif merupakan undang-undang yang dapat memberikan kebaikan bagi masyarakat luas (common good) dan memuat unsur-unsur kepentingan umum.
Dalam hal ini Jurgen habermas (1992) menganjurkan model demokrasi deliberatif guna strategi melibatkan seluas-seluasnya warga negara dalam ruang publik (public sphere) dalam persoalan -persolan yang mencakup hajat hidup orang banyak .terkait diskursus persoalan publik terutama pengatasan terkait pandemi covid 19.ruang publik yang terbentuk secara spontan,kreatif ,dan desentralis akan menjamin terciptanya pluralitas opini publik yang depan mencegah terjadinya pemerintahan yang otoriter yang dapat merusak iklim berdemokrasi di suatu negara.
demokrasi deliberatif tetap menghormati garis batas antara rakyat dan negara.sehingga menghindarkan kekeliruan terhadap paradigma penguasa dan rakyat. sehingga, tujuan etis yang kemudian ingin di capai adalah berbicara pada terciptanya konsensus politik yang kemudian mengakomidir kepentingan bersama (common good).Pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menghendaki "kedaulatan berada di tangan rakyat" dalam hal ini konteks pendekatan nilai-nilai deliberasi sudah ditegaskan di dalam undang-undang dasar 1945 .
Dalam hal ini model demokrasi deliberatif kemudian menjadi sebuah motode alternatif yang kemudian menjadi suatu instrumen penguatan nilai-nilai berdemokrasi selama masa pandemi ini.metode ini dianggap ideal karena mampu tetap berdaptasi terhadap unsur-unsur normatif yang berkembang di dalam masyarakat .termasuk Indonesia yang kemudian sangat erat dengan demokrasi yang berorientasi pada permusyawaratan dalam hal ini corak demokrasi yang bersifat komunitarian .
nilai-nilai permusyawaratan yang kemudian menjadi instrumen unsur-unsur deliberasi di dalam model pemberlakuan demokrasi Indonesia untuk kemudian menciptakan suatu bentuk komunikasi intersubjektif antara kemudian penguasa dan rakyat guna menghadapi permasalahan covid 19 hingga saat ini .
Sehingga dalam kondisi pandemi covid 19 saat ini publik khususnya seluruh masyarakat Indonesia diransang untuk kemudian berpikir bahwa persoalan pandemi bukanlah persoalan pemerintah semata .tapi ini adalah suatu persoalan yang menjadi bagian kepentingan bersama untuk diselesaikan kemudian secara bersama karena persoalan pandemi covid 19 adalah persoalan yang berdampak terhadap hajat hidup orang banyak negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H