Salah satu perempuan yang setiap hari membantu bu Karimah membawakan nasinya ke warung adalah mantan PSK. Dia dipekerjakan oleh bu Karimah dengan hormat tanpa mengungkit masa lalunya, walau sekata. “Aku lebih menghormati orang karena masa depannya. Sekejam apapun masa lalunya. Itulah yang membuat aku tak henti2nya mengajak mereka.” Katanya. “lalu apa yang dijadikan dasar dakwahnya?” tanyaku minta diyakinkan. “dunia anak muda adalah masa dimana butuh dipuji dan dianggap hebat”, bu Karimah memulai bercerita. “Nah, yang sering aku tanamkan kepada mereka, lebih baik dipuji karena berbuat baik dari pada berbuat gak baik. Gitu kan mas?”. Aku hanya mengangguk. “Lalu kenapa harus di terminal, bukankah ini berbahaya bagi seorang perempuan?” tanyaku mendesak.
“Hidup itu ditentukan oleh diri sendiri, bukan orang lain. Sejahat2nya harimau kalau kita selalu memberi makan, akhirnya luluh juga. Begitu juga preman. Asal kita bisa membawa diri dengan baik, semuanya damai. Dan hingga saat ini tak satu pun preman yang macam2 ke aku. Jangankan megang, ngomong yang gak2 belum pernah.” Tuturnya. Kugeser tempat dudukku lebih rapat lagi. Rupanya dakwah bu Karimah mendekati titik tuju yang selama ini kulupakan. “Justru aku mencintai kepolosan dan kejujuran preman dari pada kepura2an atas nama agama. Preman itu selalu jujur. Tidak jujur maka akan segera menemui ajal.” Katanya. Aku tersindir. “Aku gak peduli dengan sekeranjang moral kosong yang dibawa oleh para agamawan itu. Orang banyak mengatakan aku sebagai orang durhaka, celaka, dan pendosa. Tapi Tuhanku yang lebih tau”. Kuarahkan tatapanku ke tanah. Tertunduk khusyuk.
Tanpa babibu, kuakhiri pertemuan mengasyikkan itu dengan kalimat, “kau adalah guruku, bu”.