Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Tersirat Isra Mikraj

1 Maret 2022   14:14 Diperbarui: 1 Maret 2022   22:03 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masjidilaqsa di Yerusalem Palestina adalah salah satu artefak sejarah perjalanan isra mikraj (SHUTTERSTOCK via KOMPAS.com)

Belajarlah pada Nabi Muhammad tentang pengalaman isra mikraj. Pengalaman beragama yang kolosal dan fenomenal. Sempat membuat heboh khalayak warga jazirah Arab saat itu. 

Pengalaman beragama, yang menurut mayoritas ulama, tidak saja bersifat fisik, tetapi juga bersifat spiritual. Eksoterik dan esoteris. Sarat pesan dan makna yang bisa ditangkap dari peristiwa sejarah isra mikraj ini.

Tanpa menafikan pentingnya ritual salat, "oleh-oleh" isra mikraj; yang juga menarik dari peristiwa isra mikraj ini adalah ketika Nabi memilih untuk kembali turun, menjejakkan kakinya di bumi, dan melanjutkan misi profetiknya.

Padahal ia tengah asik-asiknya berada di puncak kenikmatan spiritual luar biasa yang notabene tidak sedikit orang bermimpi dan berlomba untuk menggapainya.

Meskipun begitu, Nabi tetap rendah hati. Tidak egois. Sangat jauh dari sikap asosial. Tidak ingin terlena berada dalam kerangkeng nafsu keserakahan demi kepentingan pribadi atau (sekadar menyenangkan) sebagian kalangan.

Nabi tampaknya (mungkin) tidak ingin mengulangi kesalahan dan mengalami apa yang menimpa pendahulunya, Nabi Adam. Walaupun, bisa saja dipahami, bukankah Tuhan memang sengaja membuat skenario seperti itu?

Karena lewat narasi panjang dalam Al-Qur'an diceritakan bahwa Tuhan sejak awal melakukan semacam dialog dengan para malaikat dan iblis, bahwa Dia akan menciptakan wakil-Nya (pemimpin) di bumi.

Lantas, serta-merta para malaikat dan iblis protes, karena makhluk yang di kemudian hari bernama Adam, seorang manusia itu, sepengetahuan para malaikat, adalah makhluk yang rekam jejaknya gemar sekali melakukan kerusakan dan pertumpahan darah.

Para malaikat dan iblis diperintahkan oleh Tuhan untuk hormat pada Adam (manusia). Para malaikat patuh. Berbeda dengan iblis. Ia membangkang. Enggan untuk hormat pada Adam (manusia). Iblis angkuh dan sombong. Ia merasa lebih terhormat dari Adam (manusia).

Kok para malaikat dan iblis sudah tahu cetak biru Tuhan? Berarti logikanya, apakah sebelum Adam diciptakan pernah ada lebih dulu makhluk yang serupa dengannya? Dari sini, makanya, muncul penafsiran atau pemikiran bahwa Adam itu memang bukan manusia pertama.

Bahkan, lebih liberal lagi, dan ini termasuk hal yang kontroversial, ada yang menyatakan bahwa Adam itu ahistoris. Adam bukanlah sosok sejarah. Ia adalah sebuah simbol. Lebih cenderung alegoris. Pemikiran ini antara lain dilontarkan oleh Mohammad Iqbal, pemikir Islam dari India.

Tentu saja hal ini bagi sebagian orang dianggap liberal dan sensitif. Karena menyangkut ranah teologi atau keimanan seseorang. Mayoritas teolog dan orang yang beriman sangat meyakini bahwa Adam adalah Nabi dan manusia pertama.

Selanjutnya, bak drama, inilah babak terakhir dari lakon itu. Dilukiskan bahwa Adam tergelincir dan terusir dari "singgasana surgawi" yang hanya karena bisikan, rayuan, akal-akalan, bahkan akal bulus tetangganya, yaitu setan; tentang kehidupan abadi (syajarah al-khuldi) dan kekuasaan kekal, tak akan binasa (mulk la yabla)---lihat, Q.S. Thaha [20]: 120.

Itulah, jika ingin selamat dan terhormat. Maka belajarlah pada Nabi Muhammad, pemimpin umat. Itu pun jika Anda benar-benar masih bersyahadat. Dan, mumpung belum terlambat. Wawas diri. Bersikaplah elegan. Atas dalih apa pun, kembalikan pada mufakat dan konstitusi. Tak elok mengundang kemarahan rakyat.

Seperti halnya isra mikraj, adalah proses perjalanan panjang dan pendakian spiritual, hatta mencapai puncak tertinggi yang dicita-citakan. Seorang pejalan dan pendaki spiritual (salik) yang autentik menyadari bahwa menapaki jalan kehormatan untuk kembali turun dan menjejakkan kakinya di bumi adalah keniscayaan.

Kenapa mesti mengulur-ulur waktu dan melampaui batas untuk memperpanjang jabatan dan menduduki singgasana yang hanya sementara dan bukan haknya lagi? Wallahualam. Tabik. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun