Memaafkan dan dimaafkan adalah refleksi kebahagiaan dan simbol keharmonisan dalam bingkai kehidupan kemanusiaan kita.Â
Itu adalah alami dan fitrah dalam upaya mengejewantahkan semangat spiritualitas dan kemanusiaan. Keserasian dan keseimbangan spiritualitas dan kemanusiaan kita itu diharapkan akan menciptakan kasih sayang dan kedamaian dalam realitas kehidupan kita.
Suasana silih berganti. Musim datang dan pergi. Ramadan baru saja usai dan dilewati. Tibalah hari ini, hari yang membahagiakan, Hari Raya Idulfitr 2021i (baca: lebaran).
Indonesia kaya dengan tradisi. Dalam setiap agama yang diyakini pun selalu diiringi beragam tradisi dan kearifan lokal. Termasuk dalam agama Islam. Tidak heran jika terjadi sinkretisasi antara agama dan budaya (tradisi). Ada asimilasi dan akulturasi antara pemahaman agama dan budaya (tradisi).
Dalam momen perayaan Idulfitri, misalnya, bahasa, kosakata, istilah khas Islam Indonesia adalah realitas yang bisa jadi tidak ada dan berbeda dengan negara-negara lain, sekalipun negara itu mayoritas muslim. Itulah yang dalam literatur keislaman Nahdlatul Ulama (NU) disebut dengan Islam Nusantara.Â
Kebudayaan Islam Indonesia atau keislaman dan keindonesiaan adalah realitas khazanah sejarah perkembangan Islam di Indonesia yang harus terus dirawat.
Sebut saja, misalnya, kata lebaran, halal bi halal, bersilaturahmj, maaf-maafan (maaf-memaafkan, saling memaafkan), open house, bersalam-salaman, dan sebagainya.Â
Kata yang menjadi tren di tengah masyarakat saat lebaran atau idulfitri ini adalah kata "maaf'. Adakah kata-kata lain selain kata "maaf"ini yang viral dan tren saat Hari Raya Idul Fitri? Pasti ada dan tidak sedikit.
Tapi kata "maaf" ini tampaknya adalah yang paling tren dan viral di ruang publik saat Hari Raya Idulfitri atau Lebaran. Dan ini adalah tradisi yang baik dan positif di tengah masyarakat lslam Indonesia.
Tradisi maaf-memaafkan atau saling memaafkan adalah puncak dari proses penyucian diri lewat berpuasa selama bulan Ramadan.