Ada banyak kosakata dan istilah khas yang muncul di masyarakat kita saat bulan Ramadan. Hal ini sejatinya termasuk ranah budaya Islam Indonesia (Islam Nusantara, meminjam istilah yang digunakan oleh NU).
Artinya, Indonesia punya ciri khas dan budaya Islam tersendiri yang bisa jadi tidak ada dan berbeda dengan negara-negara lain dalam membumikan nilai-nilai ajaran Islam.
Istilah-istilah itu bisa jadi maknanya masih relevan dan sesuai dengan makna kata aslinya yang berasal dari bahasa Arab, namun bisa juga istilah-istilah itu bergeser jauh maknanya dari makna aslinya yang dimaksudkan.
Kosakata atau istilah itu misalnya kata takjil, imsak, bukber, halal bi halal, dan sebagainya.
Kata takjil misalnya, di KBBI Daring punya dua arti. Yang pertama sesuai dengan arti aslinya (bahasa Arab) yaitu mempercepat (dalam berbuka puasa).Â
Sedangkan arti yang kedua bergeser dari arti aslinya, yaitu makanan untuk berbuka puasa. Kemudian, uniknya justru makna yang kedua inilah yang membudaya dan kerap digunakan sehari-hari saat berpuasa Ramadan.
Kenapa kita gemar sekali menggunakan kata takjil ini dan cenderung mengartikannya dengan semacam makanan atau kudapan yang disajikan saat berbuka puasa, apa karena lebih keren, lebih kearab-araban begitu, atau biar lebih terlihat tradisi dan warna Islamnya?
Karena penggunaan kata takjil sudah kadung seperti ini dan memasyarakat (mentradisi) pula, sehingga tampaknya (mungkin) menjadi dasar dan alasan KBBI Daring memasukkan kata takjil dengan arti: makanan untuk berbuka puasa.
Mari kita coba mengulik makna asli dari kata takjil yang sekarang ini tampaknya mulai kabur dari bahasa aslinya (bahasa Arab) dan asbabul wurud (latar belakang) kata takjil digunakan dalam redaksi keagamaan (Islam).
Kata "takjil" yang ada hubungannya dengan buka puasa merujuk pada hadis Nabi Muhammad saw, "La yazaalu al-naas bi khairin maa a'jjaluu al-fithra." (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Yang artinya, "Orang-orang (yang mengerjakan puasa) senantiasa dalam kebaikan, selama mereka mempercepat atau menyegerakan berbuka (puasa)."
Berdasarkan hadis ini, makanya menyegerakan berbuka puasa saat waktunya tiba adalah dianjurkan (sunah).
Takjil (ta'jil) berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu: a'jjala - yua'jjilu - ta'jilan, yang artinya segera, mempercepat atau menyegerakan. (Lihat, Kamus Bahasa Arab Al-Munjid, hal. 489).
Lain lagi halnya dengan bukber. Dalam KBBI Darling--dan kita juga sudah maklum--artinya adalah buka puasa bersama.Â
Kenapa tidak disingkat dengan "bukpuber" saja, misalnya? Tampaknya kalau "bukpuber" enggak simpel dan agak ribet diucapkannya. Lebih mudah dan nyaman mengucapkannya kata "bukber" ketimbang kata "bukpuber." Dan kata "bukpuber" barangkali khawatir rancu dengan kata "puber" itu. Atau karena mungkin ini juga soal rasa. Bukankah bahasa, paling tidak, erat kaitannya dengan rasa?
Berbuka puasa sendiri dalam bahasa Arab disebur ifthar, fithr, atau futhur, yang artinya makan pertama, pembuka, atau sarapan pagi.
Salah satu hobi kebanyakan kita itu menyingkat kalimat atau frasa. Tujuannya biar gampang diucapkan. Tapi tidak sedikit juga kalimat karena disingkat justru sering menjadi ribet di lidah dan bisa belibet mengucapkannya.
Yang jelas realitasnya bukber di bulan puasa Ramadan itu sudah menjadi tren. Lalu sehubungan dengan keadaan pandemi dalam setahun terakhir, dan mau berjalan dua tahun ini kata "bukber" ini disandingkan dengan kata "virtual" sehingga menjadi "bukber virtual" dan semakin trending saja.
Hampir serupa dengan bukber virtual, aktivitas-aktivitas lain di tengah pandemi ini semuanya dilakukan secara virtual alias daring (online). Rapat virtual, belajar atau kuliah virtual, kerja virtual, belanja virtual, lebaran virtual, dan seterusnya. Pokoknya semua serba virtual.
Aktivitas-aktivitas itu dilakukan secara virtual yang jelas dalam rangka mematuhi protokol kesehatan sebagai usaha memutus mata rantai penyebaran pandemi.Â
Artinya ketimbang risikonya tinggi yang menyebabkan terpapar pandemi, maka lebih baik dan lebih aman mengambil sikap mencegah dan menghindarinya dengan melakukan aktvitas secara virtual, termasuk bukber virtual ini. Jadi solusi yang tepat di saat masih pandemi seperti sekarang ini.
Itu alasan pertama dan utama, kenapa harus bukber virtual. Sekalipun kebijakan sekarang sudah dibolehkan bukber nirvirtual atau bukber offline (bukner tatap muka) dengan catatan tetap memperhatikan protokol kesehatan dan yang hadir hanya dibolehkan paling banyak 50% dari kapasitas ruangan atau tempat penyelenggaraan bukber.
Baca juga:Â Apa Bedanya Berpuasa Ramadan di Tengah Pandemi, Kini dan Tahun Lalu?
Alasan kedua, kenapa mesti bukber dan virtual pula. Karena poinnya yang terpenting dari bukber itu, baik itu bukber virtual maupun bukber nirvirtual, adalah menjalin silaturahmi, kebersamaan, persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, dan keakraban.
Sementara selebihnya hal-hal yang menyangkut beragam dan aneka penganan atau kudapan yang terhidang dalam momen bukber, berpelukan, komunikasi, ngobrol, melepas kerinduan, foto bareng untuk kepentingan instragamable, dan seterusnya, itu semua sesungguhnya adalah wajar dan manusiawi sebagai bumbu pelengkap dan penyedap bukber saja.
Walhasil, apakah itu bukber virtual ataupun bukber nirvirtual selama menenuhi dua poin alasan itu adalah sama-sama afdal, memiliki keutamaan dan hikmah, berfaedah dan maslahat (ada kebaikan).
Yang terpenting baik itu bukber virtual maupun bukber nirvirtual terpenuhi apa yang disebutkan hadis Nabi Muhammad saw tadi, "Orang-orang (yang mengerjakan puasa) senantiasa dalam kebaikan, selama mereka mempercepat atau menyegerakan berbuka (puasa). Demikian. Tabik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H