Fenomena "salah memilih guru ngaji" dan "ngustaz" (baca: mendadak ustaz) dari kalangan orang-orang yang notabene "baru" belajar agama, belakangan ini memang marak.Â
Salah satunya adalah Arie Untung (selanjutnya AU) yang perilaku "ngustaznya" tengah viral di media sosial. Tentang ulah AU yang ngustaz ini, jadi mengingatkan kita pada figur ustaz satire dalam sinetron "Amanah Wali" yang tengah tayang di salah satu stasiun teve.
Dan kebetulan ia pun kerap dipanggil ustaz Al-Untung yang terkenal dengan jargonnya "biar soleh, biar alim kayak gua...ustaz Al-Untung" (sembari tangan kanannya menepuk dada kirinya dan dibarengi dengan kepalanya menuduk miring ke kiri juga).
AU dan satire mendadak ustaz dan ustaz jadi-jadian seperti Al-Untung itu adalah semacam sosok atau pigur yang "baru" belajar agama dan enggak mengerti agama tapi sudah bernafsu mendaku diri dan kebelet dipanggil ustaz yang sok mengerti agama, sok pintar agama. Jadilah, apa yang disampaikannya sering blunder, salah, sesat, dan menyesatkan.
Itulah yang terjadi pada AU ketika diwawancari Daniel Mananta dalam acara siniar (podcast) di akun YouTube-nya. Sebenarnya, tayangan siniar (podcast) itu bertajuk, "Ini Pendapat Arie Untung tentang Jihad -Daniel Tetangga Kamu".
Di tengah-tengah siniar itu, AU sempat menyebut kata "fikih". Maka, sontak Daniel Mananta bertanya, "Fikih itu apa?" AU langsung menjawab, "Wicis (ditulis which is) yang dimaksud fikih itu adalah wicis loe melakukan transaksi di bank konvensional... Wicis itulah kurang lebih fikih."
Jawaban AU seperti itu tentu saja adalah kurang tepat, jika boleh dibilang sesat dan menyesatkan. Soal jawaban AU tentang pengertian fikih inilah kemudian menjadi viral, dan tidak sedikit warganet beramai-ramai mengingatkan, walaupun naga-naganya lebih mengarah ke sikap merisak AU.Â
Tentu saja ini bukan berarti suuzan, tapi tetap husnuzan bahwa pasti warganet itu banyak juga yang yang pakar, ahli, dan mumpuni dalam wawasan dan pemahaman agama.Â
Meskipun tidak menutup kemungkinan, banyak juga warganet yang tidak lebih paham dari AU atau katakan setara dengan AU dalam pengetahuan agamanya (awam dalam pemahaman agama). Ingat, bukankah warganet itu melulu maha benar dengan celotehannya? Pokoknya yang penting heboh dan viral.
Sebenarnya kasus seperti yang dialami AU bukan satu-satunya kasus, tidak sekali ini terjadi, dan viral di linimasa. Kasus dari figur "ngustaz" yang serupa sudah sering muncul, viral, dan mendapat kritikan dari warganet.
Terlepas kritikan warganet terhadap AU atau figur yang serupa itu, bahwa apakah kemudian akhirnya ketahuan ketidakpahaman AU, atau ketidaksengajaan (kecerobohan) memberi penjelasan, misalnya.Â
Yang pada akhirmya berujung pada "teguran" (pemberitahuan) warganet atas ketidaktepatan (kesalahan) AU dalam memberikan jawaban perihal pengertian "fikih".Â
Mungkin warganet berharap AU mengakui apa yang terjadi dan legawa memohon maaf sebagai klarifikasi dan respons bijak. Bukan malah sebaliknya, bersikap arogan dan merasa benar sendiri.
Padahal di antara bererot warganet yang meresponsnya dengan kritikan dan saran itu ada beberapa guru besar dan pakar di bidang Syariah dan Hukum Islam yang tidak diragukan lagi keilmuannya.Â
Kalau hanya untuk menjelaskan pengertian "fikih" (mohon maaf), murid madarasah ibtidaiyah (setingkat SD) atau madrasah tsanawiyah (setingkat SMP) juga sudah tahu dan bisa jawab. Lebih-lebih anak pesantren, menjawab pertanyaan, "Ma huwa al-fiqhu?" (Apa itu fikih?) sudah ngelotok dan di luar kepala (hafal banget).
Pelajaran moral penting dari fenomena AU dengan gaya bahasanya yang sering bilang dan mengulang-ulang kata "wicis" ini, adalah bahwa dalam hal apa pun, jangan pernah berhenti untuk belajar. Tidak ada kata terlambat untuk terus belajar.Â
Tidak ada yang membatasi untuk selalu belajar. Jadilah pemelajar sepanjang hidup di kandung badan, dan dari buaian sampai ajal menjemput, belajarlah, begitu pesan Nabi Muhammad saw.
Jangan pernah malu dan malas mendaras ilmu, membaca buku (kitab), mengaji, mengkaji, dan memperdalam ilmu agama Islam untuk menambah wawasan dan khazanah keislaman. Jangan berpuas diri dan merasa cukup belajar agama hanya kepada "ustaz" google.
Carilah guru yang baik, dan tepat (mumpuni, kapabel, otoritatif, dan jelas sanad keilmuannya) yang bisa membawa kemaslahatan dan Islam yang rahmatan lil 'alamin. Islam yang rahmat bagi semesta, moderat, toleran, insklusif, dan tidak diskriminatif. Islam yang ramah, bukan Islam yang marah-marah dan rigid.
Selebihnya, jangan nafsu dan kebelet mendaku diri (pengin dipanggil) ustaz. Tetaplah rendah hati dan jauhkan diri dari sikap sombong dan arogan, merasa paling benar dan pintar sendiri. Sadari betul bahwa di atas langit masih ada langit.Â
Jangan pernah mengecilkan (meremehkan) orang lain dan hindari sikap yang gemar mengafirkan (bersikap takfiri) kepada sesama orang yang beriman.
Demikian, sekadar wawas diri. Semoga bermanfaat. Tabik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H