Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kritik Atas "Kritik Diminta"

10 Februari 2021   17:19 Diperbarui: 15 Februari 2021   17:33 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pikir-pikir dulu. Atau berpikir "dua belas kali", karena ketakutan dan kekhawatiran terjerat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), terutama pasal 27 ayat 3, dan pasal 28 ayat 2, dan masuk ranah hukum (berurusan dengan aparat hukum). Jelas repot, bukan?

Untuk lebih jelasnya, dinyatakan dalam pasal 27 ayat 3 UU ITE, bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sedangkan dalam pasal 28 ayat (2) UU ITE, dinyatakan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Walaupun, tetap ada kalimat bersayap, "kritiklah pakai data dan fakta yang valid". Artinya, tidak hoaks dan nyinyir. Jangan berdasar pada fitnah dan kebencian semata. Tapi betul-betul demi perbaikan dan kebaikan. 

Mengkritik untuk membangun dan memberi solusi. Mengkritik yang membabarkan kenyataan. Bisa dipertanggungjawabkan. Tidak asal mengkritik, apalagi sekadar menghardik dan mengusik.

Pemerintah minta dikritik, dengan maksud, agar kinerjanya lebih baik lagi. Jika menggunakan logika terbalik (mafhum al-mukhalafah), itu artimya bahwa selama ini kinerja pemerintah berarti kurang baik apa—atau kalau boleh dibilang, tidak baik atau tidak lebih baik, begitu?! 

Fenomena ini, jika dikomentari oleh orang Banten dengan menggunakan Bahasa Sunda Banten sehari-hari, kata-katanya seperti ini.

"Pohara maneh mah. Sarua bae jeung doang ngauyahan laut. Sagala menta dibejaan. Heunteu menta geh, atuh pasti dibejaan. Sakuduna. Iiih...Aing mah, aya-aya bae lalakon eta."

Maksudnya, terlalu Anda itu. Dengan begitu, Anda sama saja dengan (ibarat) menggarami laut. Sampai-sampai minta dikasih tahu (dikritik) segala. Walaupun tidak diminta (dikasih tahu, dikritik) juga, memang semestinya. Ada-ada saja kelakuan.

Dalam narasi yang lain, kritik dan sikap saling mengingatkan itu adalah sah dan tidak masalah. Selama itu masih dalam koridor hukum, demi kebaikan (etika) dan kebenaran (sesuai data dan fakta). 

Kritik dan saling mengingatkan untuk konsisten dalam mengemban amanah dan bersikap sabar dalam menghadapi segala rintangan (musibah), lebih-lebih di tengah badai Covid-19 yang belum mereda ini, adalah baik. 

Ah, apakah jika seperti itu benar-benar adalah bentuk kritik, atau...? Tabik. []

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun