Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengulik Politik, Mengkritik atau Menghardik?

9 Februari 2021   10:33 Diperbarui: 9 Februari 2021   23:41 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi/KOMPAS.COM

Ini sederhananya. Politik itu tentang siapa versus siapa. Tentang siapa memengaruhi siapa. Bicara siapa menguasai, melawan, memenangkan, dan mengalahkan siapa.

Politik itu sejatinya bukan tujuan, tapi ia adalah jalan dan kendaraan. Pengertian jalan dan kendaraan, secara sederhana, adalah sesuatu yang dilalui oleh pelaku politik, dan membawanya untuk mencapai satu titik tujuan. 

Makanya, politik itu berkelindan dengan kepentingan. Tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Yang ada dalam politik adalah kepentingan. Itulah praktik politik. Politik praktis. 

Kita (manusia) memang hakikatnya makhluk yang berpolitik (zoon politicon, filsuf Aristoteles). Politik bicara kekuasaan dan kepemimpinan. Kebijakan dan wewenang (otoritas). Role playing dan playing role (Max Weber, sosiolog).

Konsekuensinya, politik itu penuh intrik. Segala cara dilakukan demi mencapai tujuan. Demi sebuah kepentingan. Semua sah dalam politik. Walaupun tidak ada yang pasti. Politik selalu bicara tentang kemungkinan.

Politik juga adalah seni. Seni bermain. Rasio, rasa, dan naluri menyertainya. Bagaimana berpolitik yang indah dan elegan. Menarik simpati, dan berusaha tidak ada seorang pun yang tersakiti. 

Karena, politik itu seni dalam berdemokrasi, maka kalah dan menang adalah hal biasa dalam politik. Kalah tak perlu ditangisi. Menang pun tidak harus bersorak sorai. Tetap rendah hati dan tanpa harus merendahkan. Menang Tanpo Ngasorake (filsafat Jawa).

Cuma politik itu memang sarat vested interest dan banyak kepentingan. Jadilah, politik uang, politik identitas (politisasi agama atau politisasi SARA), dan membutuhkan banyak pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer), berbayar pula. 

Makanya, politik itu bertaut dengan soal hidup mati. Soal keberhasilan menduduki kursi, dan sekaligus meraup penghasilan. Memperkaya diri sendiri. Demi kepentingan dan balas jasa pada partai, handai tolan, dan koleganya yang membayar dan membiayai ongkos politik di balik kontestasi politik.

Berpolitik kadang pada akhirnya, tidak lebih, adalah sekadar mencari mata pencaharian dan pekerjaan bagi "pengangguran" elit politik. Memenuhi kebutuhan hidup. Memuaskan nafsu keserakahan. 

"Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. Inikah yang namanya keabadian?" teriak WS. Rendra.

Semua politisi mengatasnamakan rakyat. Entah rakyat yang mana. Kategori rakyat menjadi bermacam-macam. Demi pengabdian pada bangsa dan negara. Walaupun akhirnya menjadi bangsat-bangsat dan penjahat negara. Mengorupsi uang negara. Semuanya menjadi sumir.

Ada yang ketahuan dan ada juga yang tidak (belum) ketahuan oleh aparat dan penegak hukum. Banyak yang sudah mendekam di penjara. Dan tidak sedikit masih anteng dan tenang-tenang  saja berkeliaran, bersikap biasa-biasa saja laiknya merasa tak berdosa. Dalam politik memang paling banter yang ada adalah dosa politik. Dan itu, kadang-kadang tidak penting dan sering diabaikan oleh politisi.

Semuanya dianggap lumrah dalam politik. Meskipun harus mencuri dan mengorupsi uang negara. Tapi dengan alasan politis, maka dengan enteng, bilang saja itu adalah oknum, risiko politik, dan wajar. Banalitas perilaku politik kotor.

Dari situ, muncul drama politik (drapol bersaing dengan drakor) dan kegaduhan politik. Ada tebar pesona dan pencitraan pemain (pelaku) politik, pengamat (penulis) politik, pemengaruh dan pendengung berbayar atau tak berbayar, lembaga survei dan konsultan politik, serta publik tumplak dan sambung-menyambung menjadi satu parade pentas politik yang riuh dan gaduh. 

Itukah sejatinya berpolitik? Itukah hakikat berdemokrasi? Entah.

Tidak heran, jika tidak sedikit tokoh politik atau politisi, pejabat politik dan atau pejabat publik menjadi sasaran kritik, bulan-bulanan bully, dan perisakan habis-habisan oleh publik dan warganet.

Jadi memang agak susah membedakan mana mengkritik, mana mengusik, mana menghardik, dan seterusnya itu. Karena praktiknya semua itu tipis-tipis beririsan atau beda-beda tipis memaknainya dalam realitas politik.

Presiden Jokowi tidak mengharamkan kritik dan masukan. Menutup keran kritik adalah mustahil ia lakukan. Itu sama saja dengan politik bunuh diri. Bahkan, jelas ia membutuhkan kritik sebagai suplemen dan proses demokratisasi. Demokrasi harus berjalan sesuai treknya. 

Sementara demokrasi juga tetap harus ditopang dengan perilaku mematuhi rambu-rambu hukum. Hukum harus ditegakkan. Undang-undang ITE, salah satunya, adalah rambu dan payung hukum yang harus menjadi acuan bersama. Jangan sampai sikap kritis justru jatuh terperangkap pada pelanggaran hukum.

Mengetik larik-larik lirik mosaik politik
mengulik politik asyik menarik
mengkritik baik balik mendelik
memetik laik memantik.

Mengusik menghardik heroik
terik naik menukik
tarik memekik retorik
titik-titik rintik intrik berkutik
bilik politik gemeresik berisik.

Menggelitik menggilik-gilik kilik-kilik memirik mimik, menakik cantik
mendidik etik, bajik
menampik panik, pelik
membidik unik, klik.

Melirik spesifik
menyelisik menyelidik menyidik meracik setik generik politik.

Tabik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun