Jika cinta tidak bertepuk sebelah tangan, kenapa harus mengulur keinginan. Jika di depan mata sudah ada pasangan, segera saja melangkah ke pelaminan. Menikahlah, biar sah dan merasakan ketenangan (sakinah).
Bukankah cinta tak memandang siapa pun dan apa pun status sosial yang disandang. Cinta bicara halusnya perasaan. Ia datang tanpa perlu diundang dan dipaksakan. Ia tetap akan hadir dan tumbuh berkembang.Â
Jodoh memang salah satu misteri Ilahi. Tapi jodoh tidak datang sendiri. Jodoh tetap harus dicari. Jangan berdiam diri. Harus mau menjemputnya. Jalani prosesnya.Â
Ketika jodoh sudah datang dan dalam genggaman, maka rentangkan tangan dan dekap erat. Jangan biarkan lepas, entar keburu diambil orang. Segera menikah dan bersiap naik ke pelaminan. Itu berarti takdir sudah mendekat. Katanya, ikan sepat ikat gabus, tak usah ikan lele. Lebih cepat, lebih bagus, tak usah bertela-tele. Nikah ape!
Siapa pun jodoh Anda, itu adalah suratan. Apakah nanti pasangan Anda adalah lokal (WNI) atau interlokal (WNA), terima dengan penuh kesyukuran dan tak perlu banyak pikiran. Nikmati prosesnya dan reguk indahnya cinta. Itu anugerah Tuhan Yang Mahakuasa.
Nah, untuk Anda yang notabene sebagai WNI, jika ingin menikah dengan WNA, maka ada payung hukum yang mengatur proses pernikahan atau perkawinan Anda. Tujuannya tentu agar status dan ikatan perkawinan Anda mendapat perindungan secara hukum. Dapat dipertanggungjawabkan secara hukum atau memiliki kekuatan hukum.
Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawianan, dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah payung hukum yang mengatur perkawinan di Indonesia.
Perkawinan berbeda warga negara ini, dalam istilah Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (diuraikan secara khusus dalam pasal 57 - 62), disebut sebagai Perkawinan Campuran.
Dalam pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini disebutkan bahwa yang dimaksud dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Untuk persyaratan pernikahan campuran atau pernikahan yang berbeda kewarganegaraan ini, bagi seorang calon mempelai yang merupakan warga negara asing (WNA), sebenarnya tidak sulit dan hampir sama dengan calon mempelai yang berwarga negara Indonesia (WNI).
Bagi WNA, calon mempelai harus mempersiapkan persyaratan, antara lain yaitu, fotokopi paspor, fotokopi akte kelahiran atau kenal lahir, pasfoto berukuran 2 x 3 cm sebanyak 4 lembar dan 4 x 6 cm sebanyak 1 lembar dan surat tanda melapor diri (STMD) dari kepolisian.
Surat keterangan model K. II dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), tanda lunas pajak bagi orang asing yang bekerja di Indonesia, kartu izin untuk menetap sementara (KIMS) dan kartu izin tinggal terbatas (KITAS) dari imigrasi.
Surat keterangan (tidak ada halangan secara hukum) dari kedutaan negara atau perwakilan diplomatik negara yang berkedudukan di Indonesia dari yang bersangkutan (asli dan harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi atau berbadan hukum).
Kemudian dalam pasal 59 ayat 1 disebutkan bahwa kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata.Â
Hal ini berkaitan dengan dasar hukum kedudukan anak akibat perkawinan campuran ini, yang dalam pasal berikutnya yaitu pasal 62 disebutkan bahwa dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-undang ini.
Sedangkan dalam pasal 61 dinyatakan bahwa perkawinan campuran dicatat oleh pegawai yang berwenang. Pegawai yang berwenang dalam hal ini sesuai Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dinyatakan bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan.
Sedangkan pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil  (KCS).
Masalah kewarganegaraan Indonesia, dan secara khusus seorang anak yang lahir terutama dalam atau sebagai akibat perkawinan campuran ini lebih rinci diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan Indonesia pasal 6, disebutkan bahwa dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak akibat perkawinan campuran juga menyebabkan anak berkewarganegaraan ganda bersyarat. Â
Baru setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin, anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.
Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat terkait dengan melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.Â
Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan itu disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
Inilah antara lain hal-hal yang berkaitan dengan perkawinan campuran. Satu sisi, tidak saja sekadar pencatatan perkawinannya secara sah sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku yang harus diperhatikan secara serius.
Tetapi, di sisi lain, juga implikasi dari perkawinan campuran ini, adalah terkait perjanjian perkawinan secara resmi di depan notaris yang secara hukum diakomodasi.
Selain itu, status kewarganegaraan anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan campuran ini juga adalah sangat penting dan harus dicermati sejak awal bagi pasangan suami istri yang melakukan perkawinan campuran.
Bukan apa-apa, karena hal ini kerap luput dari kesadaran dan pengetahuan pasangan suami istri hasil perkawinan campuran setelah dikarunia anak di kemudian hari seperti banyak kasus yang terjadi selama ini. Â Hal ini naga-naganya dianggap hal sepele, tapi realitasnya itu sangat penting dan mendasar.
Ingat, seorang pelajar bernama Gloria Natapradja Hamel (saat itu 16 tahun), seorang peserta Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Istana Negara pada peringatan Hari Kemerdekaan RI tahun 2016, yang tiba-tiba dibatalkan bertugas gara-gara ia tercatat Warga Negara Asing (WNA). Karena memiliki paspor negara Prancis.

Dan, sayangnya, ketika berlaku undang-undang yang baru, UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, terabaikan, terlewat, dan tidak diurus status kewarganegaraannya oleh kedua orang tuanya. Padahal di tahun 2010 (usianya 10 tahun), ia bisa memperoleh kewarganegaraan ganda terbatas.
Sekalipun, akhirnya ia dapat bertugas, atas kemurahan dan kebijakan Presiden Jokowi, dalam upacara penurunan Bendera Merah Putih pada sore harinya. Karena kekurangcermatan panitia seleksi dalam proses awal rekrutmennya.
Hal-hal inilah yang harus dipahami oleh pasangan suami istri yang berbeda warga negara. Karena ini bertaut dengan salah satu hak anak yang secara hukum harus mendapat perlindungan, seperti yang sudah diamanatkan dalam peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Misalnya dalam undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Belum lagi berkaitan dengan latar belakang sosial, budaya, dan psikologis pasangan suami istri yang sering menjadi kendala di kemudian hari saat mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga.
Itu pun paling tidak harus menjadi perhatian dan memerlukan kesiapan mental bagi pasangan yang akan menikah dengan WNA (baca: Perkawinan Campuran). Demikian. Semoga bermanfaat. Tabik. []
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI