Orang tua zaman kiwari harus ekstra hati-hati dan lebih teliti pilih sekolah dan pilih kampus untuk buah hatinya.
Memilih sekolah untuk anak, adalah ibarat pariwara di TVRI masa Orde Baru dulu pada tahun 80-an, "Mana Suka Siaran Niaga". Memilih-milih dan memilah komoditas yang akan dibeli.
Begitu banyak komoditas yang ditawarkan. Begitu banyak iming-iming menggiurkan yang disodorkan. Jangan sampai salah pilih, jika tidak ingin menyesat dan menyesal di kemudian hari.
Orang tua mau tidak mau harus mempunyai trik "berbelanja" dan memiliki pertimbangan yang matang (rasional) dalam memilah dan memilih sekolah atau kampus mana yang kira-kira sesuai dengan kebutuhan, minat, dan masa depan anak-anaknya.
Ini semua berangkat dari saking banyaknya pilihan sekolah (kampus) yang ditawarkan, kualitas sekolah (kampus), sistem proses belajar mengajarnya, ideologi (pemahaman agama, terutama), lingkungan sekolah, biaya pendidikan, selaras minat anak, dan seiring dengan kemampuan ekonomi orang tua.
Memilih sekolah adalah menentukan masa depan anak. Salah dan benar pilih sekolah atau kampus—sedikit banyak tapi tidak serta merta bermaksud menggebyah uyah—bisa berakibat pada baik dan buruk risiko yang akan dituai, dan memengaruhi keberhasilan anak di kemudian hari.
Artinya, bahwa pilih sekolah itu tidak boleh asal pilih. Bukan hal sepele. Perlu menakar secara rasional. Makanya, hati-hati pilih sekolah untuk anak. Jangan sampai menggadaikan dan memutus mata rantai hak masa depannya.
Anak bisa sekolah saja bagi sebagian orang tua adalah kesyukuran luar biasa. Yakin saja bahwa semua orang tua menginginkan anak-anaknya bisa bersekolah. Semua anak juga tidak ada yang tidak ingin bersekolah. Semua pasti ingin bersekolah.
Sesungguhnya semua sekolah itu bagus. Punya tujuan yang sama dan mulia, adalah dalam rangka ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Mewujudkan program pendidikan nasional.
Hanya saja memang realitasnya ada beragam tipe dan katagori sekolah. Misalnya, muncul katagori sekolah unggulan, sekolah bilingual, sekolah terpadu, sekolah berasrama (boarding school, termasuk pondok pesantren), atau bahkan dulu pernah ada sekolah bertaraf nasional dan internasional. Pokoknya, macam-macam sekolah.
Yang membedakan dari semua sekolah itu, baik sekolah negeri maupun swasta, mungkin tergantung pada proses rekrutmen siswa, fasilitas sekolah, sistem proses belajar mengajar, lingkungan sekolah, dan biaya SPP (Sumbangan Pembinaan Pendidikan) sekolahnya.
Dari sini lahirlah sebutan "sekolah mahal" dan "sekolah murah". Sekolah-sekolah negeri dari SD sampai dengan SMA sudah banyak pemerintah daerah yang menggratiskan. Gratis bayaran atau SPP bulanannya. Tapi tetap masih ada saja (konon) biaya lain-lain atau "biaya siluman", beli buku LKS, menabung biaya perpisahan sekolah (studi tur), misalnya.
Kalau sekolah swasta, tidak usah dibilang. Namanya juga sekolah swasta, jelas berbeda dengan sekolah negeri. Kenyataannya terserah yang punya sekolah bak mengelola perusahaan pribadi. Bebas menentukan segala-galanya, termasuk biaya pendidikannya.
Dan, biasanya juga memang ada hal-hal berbeda dengan sekolah negeri, dalam proses belajar mengajar, kegiatan ekstrakurikulernya, daya tampung siswanya dibatasi, dan tentu saja biayanya. Ada biaya pendaftaran, biaya beli buka paket, biaya SPP bulanannya, biaya mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dan seterusnya.
Yang jelas, ada pernak-pernik proses pendidikan yang sengaja dibedakan dengan sekolah negeri pada umumnya. Baik dari sisi sistem belajar mengajarnya, dan sisi biaya pendidikannya. Semuanya serba beda.
Bagi orang tua yang anaknya baru lulus SMA dan ingin kuliah khususnya di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), ada hal yang harus diperhatikan. Yang terpenting adalah proses ujian masuk (PTN) itu.
Kalau Perguruan Tinggi Swasta (PTS) tidak perlu diceritakan. Karena tidak serepot masuk PTN. Yang jelas, anaknya ada minat dan ada uangnya, masuk PTS sangat mudah.
Sedangkan untuk masuk PTN itu agak berbeda dan tidak mudah. Walaupun, sekarang itu banyak jalan menuju kuliah PTN. Banyak jalur untuk masuk dan bisa kuliah di PTN.
Pertama, Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) adalah seleksi berdasarkan hasil rapor SMA dan jalur prestasi. Ini melibatkan sekolah asal yang melakukan seleksi awal sesuai peringkat 10 besar yang akan dikutsertakan dalam tes jalur ini.
Kedua, Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) lewat Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK).
Bagi yang lulus melalui kedua jalur ini dikenakan biaya kuliah yang bernama Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang ditentukan oleh pemerintah. Jumlah UKT berbeda-beda pada setiap jurusan atau prodi masing-masing.
Ketiga, Seleksi Mandiri yang dilaksanakan oleh masing-masing PTN. Ini yang membedakannya, adalah selain mahasiswa baru harus membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT), juga harus membayar biaya sumbangan pendidikan khusus (biar gampang sebut saja uang bangunan), dan jumlahnya bervariasi sesuai yang ditentukan oleh masing-masing PTN.
Untuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) di bawah kewenangan Kementerian Agama, meliputi Universitas Islam Negeri (UIN)/Institut Agama Islam Negeri (IAIN) secara nasional, maka ada jalur seleksi masuk tersendiri yang bentuknya hampir sama dengan PTN lain.
Ada Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SMPTKIN) lewat jalur hasil rapor dan prestasi, ada Seleksi Bersama Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (SBMPTKIN) lewat jalur Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK, dan Seleksi Mandiri yang digelar oleh masing-masing UIN/IAIN.
Tentang uang kuliah di UIN/IAIN ini pun sama, ada Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang ditentukan oleh pemerintah.
Untuk yang jalur Seleksi Mandiri pun, mahasiswa baru dikenakan uang bangunan atau biaya sumbangan pendidikan khusus yang angka rupiahnya bervariasi di setiap UIN/IAIN.
Baca juga: Mengelah Keluh tentang Kembali Belajar
Sengaja saya tidak menyebut berapa angka-angka rupiah berkaitan dengan biaya pendidikan itu, seperti halnya yang saya alami selama ini dalam mendampingi anak-anak saya dalam menapaki proses perjalanan panjang pendidikannya.
Saya bersyukur. Ini adalah amanah dan tanggung jawaab sebagai orang tua dalam mengantarkan anak-anak meraih cita-cita menuju masa depannya.
Saya merasakan betul bahwa biaya pendidikan anak-anak itu tidak murah. Sekilas—bisa jadi ini subyektif—saya melihat ada kecenderungan sebagian orang (penyelenggara pendidikan) yang mengukur kualitas pendidikan dengan tolok ukur materialistik-kapitalistik.
Proses kapitalisasi pendidikan. Mereka tampaknya menganut paham, "the education is business as usual as a company". Tabik. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H