Mohon tunggu...
Muis Sunarya
Muis Sunarya Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis tentang filsafat, agama, dan budaya

filsafat, agama, dan budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar pada Abah-Ibu Tjiptadinata Effendi: Konsistensi, Toleransi, dan Rendah Hati

6 Januari 2021   06:06 Diperbarui: 6 Januari 2021   21:39 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Saya pernah menulis, "Kenapa Anda Masih Betah Menulis di Blog Berjemaah?" 

Sebenarnya, lewat tulisan itu, saya sedang ingin melakukan autokritik. Mengkritik dan mengingatkan diri saya sendiri tentang aktivitas menulis saya, khususnya di Kompasiana.

Saya juga tidak sedang ingin memengaruhi dan memprovokasi pembaca atau Kompasianer yang lain untuk rajin atau tidak rajin menulis di Kompasiana, blog berjemaah ini.

Karena, pada satu sisi, saya menyadari bahwa saya tidak berhak dan tidak memiliki kapasitas untuk itu. Artinya, orang mau menulis atau tidak itu adalah urusan pribadi masing-masing. 

Tetapi, pada sisi lain, saya pun percaya bahwa sebuah tulisan itu, paling tidak, langsung atau tidak langsung, mungkin bisa memengaruhi dan memotivasi orang yang membacanya untuk bergerak dan berubah.

Makanya, hal yang paling mendasar dan filosofis dalam aktivitas menulis itu adalah, kenapa kita menulis, dan untuk apa? Atau, apa pentingnya kita menulis itu?

Menulis itu, pada awalnya, kerap berangkat dari prinsip, "pokoknya menulis saja". Prinsip seperti itu tentu sah-sah saja, dan tidak masalah. Karena itu pun adalah sebuah motivasi dan sugesti bagi sebagian penulis, terutama penulis pemula seperti saya, bisa jadi tergerak hati dan membiasakan diri untuk menulis.

Prinsip "pokoknya menulis saja", dan selebihnya, adalah terserah saja, mau ada yang membaca atau tidak, bagus atau tidak, menarik atau tidak, itu sebenarnya perkara kemudian. Dan itu tentu bertaut dengan penilaian dari khalayak pembaca.

Akan tetapi, realitasnya dan pada gilirannya, dalam prinsip itu secara tidak langsung terselip pesan atau maksud juga tatkala kita memutuskan untuk menulis. 

Artinya, paling tidak, secara sederhana, bukankah dengan menulis, sebenarnya kita sedang menuangkan gagasan, menebar pesan, dan mengomunikasikan pikiran kita ? 

Bukankah sejatinya, menulis itu tidak sekadar menulis, tetapi menulis adalah proses pengejewantahan rekam jejak dan perjalanan panjang kita dalam realitas cinta dan keabadian?

Menulis itu adalah cinta dan keabadian. Rekam jejaknya tak akan terhapus dan terus hidup abadi sepanjang sejarah peradaban manusia. Pramoedya Ananta Toer pun mengatakan seperti itu, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian."

Menulislah dalam ketulusan dan kejujuran nurani untuk menebar kebaikan, dan selalu membumikan pesan spiritual dan kemanusiaan dalam rangka merefleksikan rekam jejak yang baik.

"Bahwa sesungguhnya (keberadaan) manusia itu adalah buah bibir dari rekam jejaknya, maka jadilah engkau buah bibir dari rekam jejakmu yang baik bagi khalayak," demikian (terjemahan) pepatah Arab—Mahfuzat.

Itulah antara lain yang selalu diajarkan oleh Abah Tjip dan Ibu Rose (kebiasaan saya menyapa Bapak Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina Tjiptadinata) selama ini di Kompasiana, rumah literasi bersama.

Konsistensi

Sisi lain dari Abah Tjip dan Ibu Rose yang menarik, sangat penting, dan menginspirasi saya untuk terus belajar, adalah semangat yang luar biasa dan konsistensinya (istikamah) dalam menulis dan berkarya. Hampir tidak pernah absen menganggit minimal satu atau dua tulisan saban hari.

Jujur, saya salut dan takzim kepada keduanya yang notabene sekarang usianya sudah menginjak kepala tujuh, sepantar (sebaya) dengan Abah dan Ibu saya. 

Saya saja mendaku kalah, dan sering malu hati dengan semangat, kegigihan, dan konsistensinya untuk mengukir kata dan mengikat makna dalam tulisan yang inspiratif. Inilah kelebihan dan keistimewaan yang dimiliki pasangan suami istri yang selalu romantis ini.

Toleransi

Satu hal lagi yang saya kagumi dan patut belajar dari Abah Tjip dan Ibu Rose adalah sikapnya yang menembus batas (passing over) dari sekat-sekat primordialisme: suku, agama, ras, etnis, tradisi (budaya), bahasa, dan seterusnya.

Dari situ, konsekuensinya adalah melahirkan sikap Abah Tjip dan Ibu Rose untuk selalu menerima dan tidak memungkiri adanya keragaman (pluralisme) dan perbedaan. 

Abah Tjip dan Ibu Rose sama-sama memandang, bahwa keragaman (pluralisme) dan perbedaan itu adalah anugerah, alami dan fitrah (taken for granted). Keduanya selalu mementingkan sikap persaudaraan dalam perbedaan, dan perbedaan dalam persaudaraan.

Hatta, pada gilirannya sikap dan pemikiran Abah Tjip dan Ibu Rose yang memandang bahwa saling menghormati, saling menghargai, dan toleransi antar sesama itu adalah hal yang paling asasi dan sangat penting dalam menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam kehidupan bersama.

Rendah Hati

Suka duka dalam mengarungi kehidupan bersama yang dikisahkan dan dibagikan dengan tulus oleh Abah Tjip dan Ibu Rose dalam tulisan-tulisannya di Kompasiana adalah "kitab kehidupan" berisi pengalaman hidup yang sangat berharga, bermanfaat, dan menginspirasi banyak orang.

Yang sangat mengagumkan dan perlu diteladan adalah sikap rendah hati dan keramahan yang dipraktikkan oleh Abah Tjip dan Ibu Rose dalam hubungan sosial, persaudaraan otentik, dan kekeluargaan di rumah bersama, Kompasiana.

Abah Tjip dan Ibu Rose tidak segan dan dengan rendah hati selalu menyempatkan waktu untuk berkeliling bersilaturahmi, menyapa, dan mengapresiasi hampir seluruh Kompasianer tanpa pandang bulu dan membeda-bedakan. Semuanya diperlakukan sama.

Ini adalah sikap rendah hati yang luar biasa dari Abah Tjip dan Ibu Rose. Adalah wajar dan sangat pantas menjadi sosok teladan, mendapat apresiasi dan penghargaan yang tinggi di Kompasiana dan hampir segenap Kompasianer.

Saya sangat berharap suatu saat, atau segera ada penerbit yang bersedia menerbitkan tulisan-tulisan Abah Tjip dan Ibu Rose di Kompasiana ini menjadi buku. Dengan begitu, akan lebih banyak lagi manfaat dan menjadi khazanah pemikiran inspiratif yang bisa dibaca banyak orang.

Demikian. Saya menganggit tulisan ini sebagai kado ulang tahun pernikahan yang ke-56 Abah Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina Tjiptadinata. Semoga berkenan.

Terakhir, tiada gading yang tak retak. Tiada seorang pun yang sempurna. Saya mohon maaf kepada Abah Tjip dan Ibu Rose yang terhormat, jika ada hal-hal yang tidak berkenan. 

Selamat ulang tahun pernikahan yang ke-56 untuk Abah Tjiptadinata Effendi dan Ibu Roselina Tjiptadinata. Semoga Tuhan selalu memberkati. Tabik. []

Bekasi, 06 Januari 2021

| Muis Sunarya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun